Thursday, October 27, 2016

Malu


Sebagai perempuan, mungkin hal yang biasa banyak mau beli ini itu. Dan saya, lebih dari sekedar banyak mau. Outer ini lucu outer itu lucu. Sepatu flat mau, sepatu tinggi juga mau. Kemeja ini lucu kemeja itu lucu. Tas model ransel mau tas pundak juga mau. Walah banyak mau sekali pokoknya.

Padahal baju di lemari bisa sampai untuk siklus dua minggu. Sepatu yang dipakai pun bisa lebih dari dua kali ganti dalam seminggu. Tas yang dipakai juga masih pantas dan belum terlihat lusuh.

Semuanya cuma sekedar mau. Bukan karena butuh. Barangkali saya terlalu fokus pada hal yang belum saya punya, sampai lupa bersyukur dengan semua yang sudah saya punya. Sampai buat diri ini lupa. Sampai buat diri ini serakah. Padahal, tidak semua hal harus kita punya.

Pekerjaan saya, atau tempat saya bekerja boleh dibilang amat sangat nyaman. Dekat dari rumah. Bisa berangkat siang. Tidak berdesakan di angkutan. Kalau pilih naik ojek juga masih terjangkau harganya. Soal tekanan kerja, bisa ditolong dengan rekan kerja yang nyaman. Lokasi yang mudah bertemu teman lama dan jajanan murah karena ukuran kantong mahasiswa. Amat sangat lebih dari sekedar zona nyaman. Lalu muncul perasaan "kok ga menantang ya kayanya, kurang gereget aja gitu."

Sampai suatu hari saya solat Dhuha, saya memanjatkan doa-doa pamungkas seperti kemarin-kemarin. Keinginan, harapan dan rasa syukur yang masih soal dan karena hal yang sama. Tapi hari itu, dalam hati rasanya ingin minta soal kerjaan baru. Tapi sungguh malu sekali mengucapkannya pada Tuhan.

Tapi, bukankah Tuhan senang ketika hambanya memohon? Bukankah Tuhan senang mendengar pinta hambanya?

Kemudian lirih terucap "YaAllah, boleh ga sih saya pingin pindah kerja? Duh tapi kok saya ga bersyukur ya kayanya. Maaf ya yaAllah, padahal di sini enak dekat dari rumah. Kerja bisa santai. Bisa ada waktu dari Dhuha sampe jamaah solat wajib di mushola. Ya gitu deh, Engkau yang Maha Tau yaAllah. Berikan aku tempat kerja baru yaAllah, tapi kalau memang di sini lebih baik daripada pindah tolong tunjukkan kebaikan itu padaku."

Lepas Dhuha, saya jalan ke ruang kerja kok ya malu banget rasanya. Malu karena habis minta ke Allah soal kerjaan baru. Malu padahal saya sering lalai kewajiban ini itu. Maluuuuuu banget solat suka ngga tepat waktu tapi giliran minta malah gatau malu. YaAllah saya malu banget, maafin ya.. Untung orang lain ngga tau.

Tuesday, October 25, 2016

Berkah


Sudah hampir lima tahun saya bekerja setelah lulus kuliah, tapi masih suka kurang percaya diri menghargai kemampuan saya di depan perusahaan. Kadang karena takut tidak perform, kadang karena memang 'hah iyaya gue bisa semahal itu?'.

Pengalaman terakhir saya nego gaji sempat membuat kepala saya bising sekali dengan pikiran ini itu. Angka yang ditawarkan sebenarnya belum menyentuh ekspektasi saya. Tapi kembali lagi, saya kurang percaya diri untuk menghargai lebih kemampuan saya. Pada saat itu saya memilih menandatangani kontrak kerja tanpa menawar untuk menaikkan angka. Sempat menyesal kenapa saya pasrah. Pada saat pimpinan HRD menawarkan saya untuk bertanya , pertanyaan yang saya lontarkan adalah "Kedepan apakah akan ada penyesuaian salary?"

Jawabannya tidak. Dan penyesalan yang saya rasakan semakin menjalar, sebelumnya di kepala lalu mulai menutup dinding hati saya. Saya mulai menyalahkan diri saya. Saya mulai mengutuk kenapa saya gegabah sekali pasrah dan mengiyakan. Kemudian pikiran saya lainnya berusaha menenangkan "Tapi kalaupun tadi menawar untuk dinaikkan, lalu saya ternyata ngga perform gimana?"

Haahhh. Entahlah.

Bahkan sepekan setelah tandatangan kontrak itu saya gelisah sekali. Apakah yang saya putuskan sudah tepat? Apakah nanti saya akan kesulitan dengan keputusan yang saya buat sendiri? Saya jadi sering melamun.

Saya bertemu teman saya, kami sharing sedikit. Menurutnya, perusahaan baru saya tentu senang bukan main, yang saya terima masih dibawah rata-rata tapi bisa dapat pekerja yang sudah pengalaman di bidangnya. Harusnya saya minta nilai lebih, karena pengalaman dan kemampuan saya harus dihargai. Dari situ, intensitas melamun saya semakin tinggi. Saya bahkan sering tidak mendengar teman saya yang mengajak bicara. Tidak sadar sedang diajak bicara lebih tepatnya. Saya kembali mengutuk diri saya. Betapa gegabahnya saya.

Lalu dengan segala kelapangan hati, saya mulai meyakinkan diri saya. Yang saya terima sudah amanah dari Tuhan sebesar itu. Yang terjadi sudah kehendak Tuhan. Tidak perlu saya sesali. Kalaupun seharusnya saya bisa dapat lebih tapi saya melewatkan kesempatan itu, saya yakin Tuhan tidak akan kehabisan cara untuk memberikan yang seharusnya saya terima. Saya yakin akan ada skenario hebat dari Tuhan meskipun pimpinan HRD sudah mewanti-wanti tidak ada penyesuaian salary ke depannya. Saya yakin akan ada rizki lain dari jalan yang tidak saya sangka.

Karena..
Bukan seberapa banyak nilainya, tapi seberapa banyak kita mensyukurinya. Bukan seberapa besar jumlahnya, tapi seberapa terasa berkahnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dekati Tuhanmu, Dia lah yang memberimu segalanya.

Pindah


Ada rasa bergetar di hati ketika saya mengetik sebuah surat berjudul Letter of Resignation. Rasa lega, sedih, khawatir, tidak percaya, ragu dan emosi lainnya bercampur menjadi satu. Sore ini saya memilih pulang naik angkutan umum daripada memesan ojek online seperti biasanya. Melelahkan memang duduk di dalam angkutan yang terjebak dalam antrian kemacetan. Juga mengesalkan, apalagi asap rokok si supir harus saya hirup di tengah udara pengap di dalam angkutan. Tapi mungkin kemacetan itu yang kelak akan saya rindukan. Mungkin pemandangan sapanjang Jalan Akses UI itu yang juga kelak akan saya rindukan. Dan sore ini saya memilih untuk menikmatinya. Bahkan tanpa menyumbat telinga dengan musik melalui earphone. Saya betul-betul memandangi apa yang saya lihat di sekitar saya sepanjang perjalanan pulang.

"Ada indah di setiap pindah." begitu kata Pidibaiq. Hal sama yang juga saya harapkan. Sebuah hal baik yang saya temukan di tempat baru. Sebuah hal baru yang saya temukan di tempat yang (semoga lebih) baik. Karena yang saya tinggalkan bukan karena tidak baik. Bukan juga kurang baik. Terlalu baik juga tidak, karena katanya yang terlalu itu tidak baik meskipun diikuti dengan kata baik di belakangnya. Halah pusing ya.

"Hidup penuh dengan ketidakpastian, tapi perpindahan adalah satu hal yang pasti. Kalau pindah diidentikkan dengan kepergian, maka kesedihan menjadi sesuatu yang mengikutinya. Padahal untuk melakukan pencapaian lebih kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan." Yang ini menurut Raditya Dika.

Bukankah setiap orang pasti ingin terus maju? Bagaimana saya bisa maju kalau saya hanya diam di tempat, terbuai kenyamanan yang tidak menjanjikan perkembangan apa-apa. Jadi, nyaman tidak selamanya baik tapi bukan berarti yang membuat nyaman tidak baik.

Thursday, October 20, 2016

Begitu


Saya bukan belum sadar,
saya hanya tidak mau mengaku
Tentang perasaan
Saya sadar dan tidak bisa mengaku
Entah, mungkin malu
Atau mau
hanya saja takut kamu tidak mau


Ya. Begitu.

Posesif


Hari kedua haid. Dirasa-rasa di hati kayak ada yang hilang dari kemarin. Tapi masih belum ketemu jawabannya apa. Sampai akhirnya dada saya sesak, bola mata saya memanas lalu menggenanglah air di pelupuk mata saya. Sadar saya menangis, saya meraih bantal untuk menutup wajah saya. Kuatir tangis saya pecah. Kuatir airmata yang turun semakin deras.

Sambil menutup wajah dengan bantal saya mengeluh..
Ya Allah kenapalah saya ini.. Apalah yang sebetulnya hilang, apalah sebetulnya yang menyesakkan dada ini. Hilangkanlah yaAllah. Engkaulah yang memberi, Engkau pula yang mampu menghilangkan kembali. Ampuni aku ya Allah, yang suka lalai kepadaMu..

Lalu saya ingat-ingat sebelum menangis saya kemana, mau apa.

Habis itu saya malu sendiri.

Saya sedih cuma karena tadi mau ambil wudhu solat Dhuha terus keinget saya lagi haid. Saya sedih banget ngga bisa solat Dhuha karena lagi haid. Ngga tau kenapa sedihnya sedih banget.. Trus malu karena setelah diingat-ingat saya sedih, dada sampai sesak cuma karena ngga bisa solat Dhuha. Kok kayaknya childish banget yah.

Gimana kalo kehilangan emas permata haha

Ini pertanda Engkau yang tidak bisa jauh dariku atau aku yang tidak bisa jauh dariMu ya Allah? Mungkin keduanya, mungkin hubungan ini semakin erat hingga muncul sebuah rasa bernama posesif.

Terasakah di hatimu?



Duhai kamu, yang sosoknya tak pernah pergi -bahkan sedetik- dari pikiranku, bagaimanakah rasanya jadi kamu. Apakah ada sesuatu yang terasa dalam hatimu? Ah.. Aku penasaran. Katanya, orang berpikir menggunakan kepala, tapi mengapa memikirkan kamu yang terasa berdesir dan ngilu adalah hatiku.

Betapa Tuhan begitu hebat, menghadirkan rasa ini hingga aku sendiri, yang merasakannya, tak percaya pada rasa itu. Rasa yang begitu mengganggu. Membahagiakan juga sekaligus menyiksaku. Yang setiap kurasa selalu kubunuh tanpa ampun, tapi lalu tumbuh kembali bahkan semakin subur bersamaan dengan harapan dan khayalan yang kubuat sendiri simpulnya.