Friday, September 20, 2013

Titik Balik

Hmmm terlalu banyak yang pengin saya tulis dan ceritain, sampe bingung harus mulai darimana..
Jadi begini, ngga tau kenapa saya pengin jadi manusia kuno di zaman serba update ini. Mulai dari menonaktifkan akun jejaring sosial saya yang bernama facebook, sampai mengurangi intensitas berkicau di microblogging bernama twitter. Alasannya apa? Entahlah..
Saya pikir begini; sebelum saya punya jejaring sosial, dulu saya masih bisa menikmati hidup. Saya sendiri lupa dengan apa saya mengisi waktu saya tanpa adanya twitter dan facebook. Kemarin-kemarin, saya merasa twitter adalah media untuk mengicaukan segalanya. Perasaan kesal, senang bahkan sampai kangen harus saya bagikan disana. Saya membaca kembali apa yang pernah saya kicaukan kemudian merasa bodoh sendiri. Membiarkan orang tau saat saya merasa sedih dan terpuruk rasanya seperti saya tidak punya Tuhan sebagai tempat mengadu. Ya itu bagi saya sekarang ini. Pada saat saya mengicaukan semua itu yang ada di benak saya; ah gapapa kan sekarang emang jaman share segalanya, bahwa mengeluh di twitter atau sosial media lainnya adalah hal yang lumrah. Begitu pikir saya saat itu.

Tuhan menakdirkan saya untuk merasakan patah hati. Jalinan kasih yang saya banggakan harus berakhir ceritanya di tahun kelima ini (hampir keenam). Saya akui, di usia yang tidak lagi remaja ini, saya memang sama sekali tidak punya keinginan untuk menyudahi hubungan saya kemarin. Pikir saya, saya menjalani hubungan memang untuk ke depan sana. Bukan untuk coba-coba cocok-cocokan atau tidak. Tapi ternyata yang saya pikirkan berbeda dengan yang dipikirkan oleh pasangan saya kemarin. Bahwa ia mungkin sebenarnya bisa menemukan orang selain saya (mungkin maksud dia lebih dari saya). Egois memang rasanya. Tapi itu manusiawi sekali. Memang watak manusia selalu merasa tidak cukup.

Mungkin ini adalah titik terberat saya menjalani hidup (mungkin kedengarannnya berlebihan ya, tapi memang begitulah). Saya belum pernah sejatuh dan sekalut ini kehilangan seseorang. Mungkin karena lima tahun kemarin di mata saya memang indah-indah saja. Saya seperti terlalu nyaman berada di tengah perairan tenang, tanpa menyadari bahwa air tersebut pada akhirnya bisa menenggelamkan saya. Ya, air tenang bukan berarti tidak berbahaya karena jauh di bawah sana mungkin saja ada pusaran air yang mematikan. Saya bahkan tidak menyiapkan apa-apa yang bisa menyelamatkan saya untuk tetap berada di permukaan air. Saya terlalu terlena menikmati keindahan di sekitar.

Ia adalah satu-satunya gambaran paling jelas tentang masa depan saya. Mungkin saya terlalu takabur dan mendahului takdir Tuhan tentang seseorang di masa depan, sampai akhirnya berujung kekecewaan.

Melepaskan dan merelakan adalah satu kesatuan untuk bisa memahami arti perpisahan. Tapi kedua itu sungguh hal yang paling sulit saya jalani. Setelah ia meminta untuk mengakhiri segalanya, awalnya saya merasa baik-baik saja melepaskan pasangan saya. Sampai akhirnya saya merasa ingin tau 'apa ngga ada yang lagi dekat sama dia?'. Dan ternyata ada. Saat itulah perasaan tidak rela menyeruak dari seluruh dinding hati saya, menguasai pikiran dan emosi saya sampai akhirnya saya menjatuhkan harga diri saya dengan bilang kepadanya terang-terangan bahwa saya tidak rela.

Saat itu kami jadi kembali sering berkomunikasi, masih terasa dekat seperti tidak pernah ada kata berpisah. Masih sama sekali tidak menutupi bahwa kami masih menyimpan perasaan tidak rela kalau-kalau salah satu dari kami dibahagiakan orang lain. Inilah kenyataan terpahit yang pernah saya telan; benar-benar nyata saya merasakan bahwa ia juga tidak rela kalau nanti ada pria lain berdiri di samping saya menggantikan dia, tapi ia juga mengatakan bahwa berpisah adalah yang ia inginkan karena memang perasaannya tidak sebesar saya kepadanya.

Sampai saya menyadari mau sampai kapan saya berjalan maju mundur seperti itu. Lima langkah maju, kemudian kembali lari ke belakang hanya untuk menikmati hal yang sebenarnya tidak bisa saya bawa ke depan. Hingga terus berulang seperti itu entah berapa kali. Saya terlalu lemah untuk meninggalkan kenangan. Saya terlalu takut untuk tidak dapat menemukan seseorang lain, karena seluruh hati ini sudah saya berikan untuknya.

Mungkin baru sekarang saya merasa begitu bodoh. Betapa terpuruknya saya sedangkan ia disana hanya terus berpikir kenapa ia tidak sebegininya saya. Betapa menyedihkannya saya karna hanya saya yang merasa terhempas saat perpisahan kami nyata. Menyadari itu saya merasa tolol sekali sudah menyayangi pria sialan dengan begitu dalam tanpa menyadari bahwa ia tidak sedalam saya.

Tapi toh perasaan saya kepadanya memang terlalu dalam. Sampai kehabisan cara bagaimana untuk bisa membencinya. Ketika saya benar-benar sendirian, kekosongan itu benar adanya. Seperti orang yang berjalan terlalu jauh kemudian menyadari ia tersesat lalu linglung harus apa dan kemana. Ya, begitulah saya. Linglung sekali.

Sejak awal perpisahan itu, saya belum pernah menangis sesenggrukan di bahu teman dan ditenangkan dalam sebuah pelukan. Saya hanya merasakan hempasan itu sendirian. Sampai hari ini. Sampai akhirnya saya memilih mematikan facebook dan menjauhi twitter. Mungkin saya perlu bicara dengan diri sendiri seperti ini. Mencoba meredam segalanya melalui barisan kata. Karena pada akhirnya, tidak ada upaya yang bisa saya lakukan selain mengandalkan diri sendiri.

Ia sudah tidak cinta. Dan luka ini akan terus terasa, karena fase melepaskan itu ada banyak sekali tahapannya. Saya hanya mengandalkan bantuan Tuhan, untuk terus menyemangati saya mendirikan pilar-pilar kekuatan dalam menghadapi kenyataan berikutnya. Karena saya benar-benar tidak punya cara untuk membenci dia.

Mungkin inilah titik balik saya. Dimana saya benar-benar ada di posisi 0. Bukan 1 atau 2. Kenyataan dimana saya benar-benar sendirian, menahan semua yang saya rasakan hanya dalam pikiran. Sebelumnya, pasangan adalah tempat saya bercerita. Tempat saya menukar lelah dengan kenyamanan pelukan. Tempat saya melepas sesak akan ketidakutuhan keluarga, tanpa harus bercerita. Kepadanya saya menemukan keutuhan lain itu. Dan titik 0 ini juga kehendak Tuhan. Mungkin Ia ingin menyampaikan bentuk perhatian. Mungkin bagiNya saya hanya bisa merasakan sentuhanNya ketika saya sendirian. Karena 0 juga sebuah bilangan, harusnya saya tak perlu takut ada di titik ini.


Ibukota lepas senja, dengan otot mengencang sepulang bekerja saya menerjemahkan luka dalam barisan kata. (18 September 2013)