SATU
Ponselku
bergetar berkali-kali diatas meja. Ada panggilan masuk. Kulihat layar
ponselku. Sesaat aku terdiam melihat nama yang muncul pada layar
ponselku. Bima? Mau apa dia menelponku? Aku hanya memandang layar
yang kedap-kedip hingga ponselku berhenti bergetar. Mungkin aku
terlalu lama berpikir sampai Bima memutus panggilan telponnya. Ada
perasaan menyesal kenapa aku tidak buru-buru mengangkatnya. Bukankah
aku ingin sekali kembali dekat dengan Bima? Mengapa aku tidak
mengangkat telponnya dengan semangat? Ah sudahlah mungkin ia datang
hanya ingin memberiku harapan seperti dulu. Aku meletakkan kembali
ponselku. Belum sempat aku menjauh meninggalkan ponsel di atas meja,
ponselku kembali bergetar. Bima.
”Hallo”
“Hei..”
Suara
Bima. Bahkan hanya suaranya saja sudah mampu membuat badanku mendadak
ringan dan perlahan meninggalkan bumi yang kupijak. Tidak! Aku harus
kuat mendengar suara teduh ini. Aku tidak boleh kembali terbuai dan
tenggelam seperti waktu itu.
“Hei
Bim..”
“Ternyata
kamu masih nyimpen nomor aku ya.. Atau kamu hapal suaraku?”
“Hmm
dua-duanya mungkin.. Ada apa ya Bim?”
“Kamu
ada waktu? Pengen ngobrol..”
“Kapan?”
“Sekarang..”
“Hah?
Sekarang?”
“Kenapa?
Nggak bisa ya Al?”
“Bukan.
Bingung aja ko mendadak”
“Iya
nih”
“Hmm
ngobrol apa?”
“Nanti
aja kalo udah ketemu aku jelasin ya. Aku jemput 1 jam lagi ya”
“Mmm
oke..”
***
Entah
apa yang membuat bibirku terus menutup sepanjang perjalanan. Padahal
dulu saat kami sedekat ini, justru aku yang lebih sering menanyakan
banyak hal padanya di atas motor di sepanjang perjalanan kami,
kemanapun. Kali ini aku diam. Begitu pun dia. Aku terlalu keras
berpikir apa yang kira-kira ingin ia sampaikan padaku sampai
semendadak ini meminta bertemu. Mungkin ia juga terlalu asyik dengan
pikirannya, menata kalimat yang nanti akan ia ucapkan padaku. Aku
mulai berharap dia mengutarakan yg dulu sempat tercekat di mulutnya
tentang balasan perasaannya padaku. Atau dia hanya ingin memberikan
aku undangan hari jadi pernikahannya dgn wanita itu. Entahlah. Kami
duduk di bangku luar restoran cepat saji ini. Pilihanku. Ia hanya
mengangguk saat aku menunjuk meja dan bangku yang saat ini tengah
kami duduki. Kami duduk berhadapan. Setelah saling menatap dengan
kikuk, Bima membuka percakapan.
“Aku
akan di tempatkan di Makasar”
“Wah
selamat ya.." aku sumringah mendengar kalimat pertama yang
keluar dari mulutnya.
"Eh
tapi jauh dari Mama kamu dong ya Bim..”
Dia
hanya tersenyum sedikit. Ia menatapku. Lama dan begitu dalam. Entah
apa yang sedang ia rangkai di kepalanya. Aku penasaran. Aku
menatapnya dengan tatapan ayo-apa-yang-mau-kamu-sampaikan? Oke aku
mencoba mencairkan suasana.
"Jadi
ceritanya kamu mau pamer ya kalo dapet dinasnya di Makassar?"
Lagi-lagi
ia hanya tersenyum.
“Aku
mau ngelamar kamu sebelum berangkat ke Makassar”
Lidahku
tercekat. Aku menatapnya dengan tatapan terkejut. Sangat terkejut.
“Aduh
maaf ya bikin kaget”
“Bim?
Ngelamar?”
Ia
mengangguk.
“Kok
aku?”
“Ngga
tau, aku ngerasa yakin kalau kamu yang Tuhan kasih buat nemenin aku
seumur hidup”
“Kenapa
bisa ngerasa gitu?”
“Ngga
tau, mungkin isyarat Tuhan”
“Isyarat
apa?”
“Jodoh”
Aku
mengerutkan dahi. Bagaimana bisa dia merasa aku adalah jodohnya
sementara saat ini aku sedang berpacaran dengan Sakti.
“Kamu
ngomong begini sama aku emang ngga inget sama Salwa?”
“Alya,
ngga mungkinlah aku ngomong gini ke kamu sementara aku masih sama
Salwa. Aku udah ngga sama Salwa lagi, sejak aku jujur bilang perasaan
yang aku rasain ke kamu”
“Hah?
Kamu bilang ke Salwa?”
“Iya..
Abis dia bilang aku keliatan beda. Dia nanya terus aku ini kenapa”
“Kapan
kamu bilang ke Salwa?”
“Kemarin”
Mataku
membelalak. Aku melempar pandangan ke sekeliling. Takut-takut aku
sedang dikerjai. Pemandangan sekelilingku terlihat normal dan tidak
janggal sama sekali. Semua bergerak natural. Tidak seperti sedang
di-setting. Tidak sama sekali. Aku kembali menatapnya yang masih
menatapku.
“Bima,
kamu tau kan aku masih sama Sakti?''
Dia
mengangguk.
“Aku
bilang apa nanti ke Sakti?”
Ia
tertawa. “Al, kamu bahkan belum ngejawab aku, kenapa udah bingung
mau bilang apa ke Sakti? Berarti mau ya?”
“Nnggg..
Ya bukan.”
“Yaudah,
jawab dulu”
“Harus
sekarang?”
“Aku
berangkat minggu depan”
“Kamu
ini mau bikin aku gila? Tiba-tiba ngajak ketemu bilang mau ngelamar
aku dan aku harus jawab dalam kurang dari seminggu?”
“Aku
bahkan baru tau hari ini kalau aku harus ke Makasar minggu depan..”
Aku
terdiam.
“Tenang
aja, ada 24 jam dalam sehari. Itu berarti kamu punya waktu setidaknya
lebih dari 150 jam. Masih lama Alya..”
“Seminggu
itu sebentar Bima..” Aku menundukkan kepalaku.
Ia
bangkit dari kursi yang ia duduki, lalu sepuluh menit kemudian
kembali membawa 2 ice cream green tea.
“Rileks
aja..” Ia menyerahkan 1 ice cream di tangan kanannya padaku.
“Makasih..”
aku membuka tutup cup ice cream dan mulai menyuapnya. Aku
menatapnya dengan banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku
sambil sesekali menyuap ice cream ke dalam mulutku.
“Jangan
ngobrol sama diri sendiri.. Tanya aja kalo emang ada yg mau kamu
tanyain” ucapnya membuyarkan pikiranku.
Aku
melempar pandangan ke aspal luar restoran. Dan aku kembali
melanjutkan obrolan dengan pikiranku sendiri, membiarkan ia yang
menatapku sesekali dengan tatapan menunggu responku. Aku memang
sempat berharap kalau pertemuan ini karena Bima ingin mengutarakan
perasaannya yang dulu tertahan. Tapi bahkan ini lebih dari sekedar
harapanku. Dia justru mau melamarku. Tuhan, engkau begitu pandai
memainkan emosiku. Hubunganku bersama Sakti tidak mungkin aku akhiri.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Begitu banyak yang aku lewati
bersama Sakti. Tiba-tiba kepalaku membayangkan sosok Sakti saat
sedang tersenyum. Entah kenapa aku justru ingin marah. Skenario macam
apa ini Tuhan?
DUA
Bima
adalah teman SMP ku. Aku pernah dekat dengannya saat aku putus dengan
Sakti kira-kira 4 tahun yang lalu. Dan sampai empat tahun kemudian
kedekatan bersama Bima pada saat itu masih terasa. Ya, sampai hari
ini. Mungkin karena Bima sama sekali tidak membiarkan aku tau apa
yang ia rasakan padaku. Bima membuatku penasaran. Itulah sepertinya
yang terus menggelayuti pikiranku ketika aku teringat sosoknya secara
tiba-tiba. Bahkan aku seperti kembali ke situasi empat tahun lalu
ketika tiba-tiba mengingatnya. Entahlah. Mungkin memang Bima pandai
membuat perempuan terbuai. Atau justru aku yang mudah terbuai.
***
Malam
ini aku bertemu Sakti. Tidak, aku tidak merencanakan untuk
menceritakan apa yang kemarin Bima katakan padaku. Aku bahkan tak
ingin Sakti tau. Aku benar-benar bingung bagaimana menyampaikannya.
Aku takut Sakti justru akan merelakan aku pada Bima. Aku telah jauh
bermimpi, aku berdiri di samping Sakti saat di pelaminan nanti dengan
mengenakan pakaian pengantin adat Jawa. Tapi bukankah aku bisa
menolak Bima? Toh aku memang ingin menikah dengan Sakti kan? Kenapa
perasaanku justru mengarahkan aku harus menerima Bima.. Ah Tuhan..
“Kamu
kenapa sih sayang?” Sakti mengagetkanku.
“Nnggg
ngga..”
Aku
merekatkan telapak tanganku di genggaman Sakti, berusaha
memperlihatkan aku yang nyaman-nyaman saja. Sebenarnya aku takut
kalau Sakti merasakan kegelisahanku. Kami berjalan ke loket bioskop
setelah melihat jadwal tayang film hari ini. Aku menyerahkan pilihan
film, jam tayang dan tempat duduk kepada Sakti. Sakti menyerahkan
uang dan menerima beberapa lembar uang kembalian dari petugas loket.
“Tumben
kamu ngga rewel, biasanya maunya duduk di tengah..” kata Sakti
sumringah dan kembali menggenggam tanganku sambil berjalan menuju
eskalator turun.
“Udah
jam segini pasti udah ada yang duduk di bangku kita itu. Ya kan? Jadi
yasudahlah..” aku tersenyum menatap Sakti.
Kini
kami sudah duduk berhadapan di resto sushi langganan kami. Satu
mangkuk ramen panas sudah siap dihadapanku. Begitu pula dengan paket
nasi bento milik Sakti. Aku dan Sakti melahapnya. Tidak pas rasanya
kalau aku membahas masalah Bima saat ini. Kami harus makan dengan
ngobrol yang singkat karena film akan segera mulai.
“Kamu
semalem aku telfon udah tidur ya?”
“Belom,
itu aku ke minimarket seberang beli roti tawar. Hehehe maaf ngga bawa
handphone..”
Aku
terpaksa bohong pada Sakti. Aaah maafkan aku Sakti. Aku pergi menemui
Bima dan aku lupa membawa ponselku yang sedang aku charge di
atas meja. Tapi beruntunglah tertinggal, entah bilang apa aku kalau
Sakti menelepon saat aku sedang duduk di hadapan Bima. Aku merasakan
ponselku bergetar dua kali. Pesan masuk. Aku membuka tasku dan
melihat layar ponselku. Pesan dari Bima. Jantungku berdegup kencang.
Takut kalau Sakti menanyakan aku sedang membaca pesan dari siapa.
From:
Bima
Kabari
aku ya Al kalau kamu udah tau jawabannya.. Have a nice weekend
Aku
tidak membalasnya dan segera menghapus pesan dari Bima. Aku tau cepat
atau lambat aku harus bicara pada Sakti. Tapi tidak sekarang.
“Jam
berapa Al?” Sakti memandangku yang sedang menggenggam ponsel.
“Mmm
masih 20 menit lagi filmnya”
“Ayo
abisin ramennya, nanti keburu dingin sayang..”
“Aku
ngga takut ko ramennya dingin. Kan ada kamu yang bisa menghangatkan..
Hahaha”
Sakti
tertawa mendengar ledekanku. Aku juga tertawa melihat pipinya yang
bersemu merah. Aku mencoba menikmati hari ini dan sedang berpura-pura
lupa akan lamaran Bima.
***
Setelah
pamit pada ibu, aku mengantar Sakti sampai depan rumah. Sakti
mengecup keningku lalu mengusap rambutku dan masuk ke dalam mobil.
Aku masuk ke dalam rumah dan bicara pada Ibu. Aku menceritakan Bima
saat kami masih SMP dulu. Aku dan Bima memang hanya teman sekelas dan
tidak pernah lebih dari itu. Bahkan kami jarang sekali ngobrol
layaknya teman. Dan aku menceritakan pertemuanku kemarin dengan Bima.
“Ibu
sih terserah kamu Al, meskipun umur kamu udah matang buat menikah,
kalau kamunya belum yakin Ibu gak akan memaksakan.. Apa Sakti tau?”
Aku
menggeleng. “Bu, aku mau nikahnya sama Sakti sebenernya. Cuma..”
“Cuma
apa?”
“Cuma
aku gak mau menekan Sakti supaya buru-buru”
“Sebenarnya
punya target itu juga bagus. Kalian pernah membahas target?”
Aku
kembali menggeleng. “Eh pernah Bu. Umur 27 atau 28 kata Sakti..”
“Kamu
mau menunggu 2 tahun lagi?”
“Ngga
tau, aku sih jalanin aja..”
Ibu
tersenyum. “Shalat istikharah.. Serahkan sama Tuhan..”
Aku
menunduk kemudian mengangguk pelan.
***
Bangun
di Minggu pagi ini kepalaku langsung memutar kenangan bersama Sakti
dengan sendirinya. Mungkin diriku sedang mengingatkan bahwa begitu
banyak hal indah bersama Sakti. Atau justru sedang nostalgia yang
sebentar lagi harus aku tinggalkan. Aku tak benar-benar mengerti
maksud kepalaku yang tiba-tiba terus memutar kenangan bersama Sakti 7
tahun belakangan ini. Aku mulai membayangkan masa depanku bersama
Bima. Aku memang pernah membayangkan hal ini. Dulu. Saat aku dekat
dengannya dan dibuat senang tiapkali bertemu. Aku selalu mengulang
percakapan dengan Bima sesampainya di kamar hingga aku senyum-senyum
sendiri. Rasanya senang sekali. Ya, itu dulu. Empat tahun yang lalu.
Tapi rasanya seperti bukan 4 tahun lalu. Rasanya seperti sebulan atau
bahkan seminggu yang lalu. Masih terasa sekali. Aku berjalan ke kaca
dan duduk dihadapannya. Aku melihat pantulan diriku. Lalu beralih
memandang fotoku bersama Sakti yang aku tempel di kaca. Aku terdiam.
Melihat senyumnya seperti muncul keinginan untuk bicara pada Sakti
tentang Bima.
***
Sakti
menjemputku setelah urusan dengan orang kantornya selesai. Lalu kami
pergi ke kafe terdekat.
“Baru
ketemu kemaren udah kangen lagi ya?” Sakti duduk di sofa sebelahku.
“Kalo
ada yang ngelamar aku gimana?”
Sakti
terdiam.
“Aku
mau nikahnya sama kamu ko tapi..” aku merangkul tangan Sakti dan
menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Emang
serius ada yang ngelamar kamu?”
Aku
diam. Aku mengangkat kepalaku dan memandang Sakti. “Gatau sih
ngelamar apa bukan..”
Sakti
menyeruput kopinya.
“Aku
pernah cerita tentang temen SMP aku yang namanya Bima?”
Sakti
mengangguk lalu meletakkan kembali cangkir kopinya di cawan yang ia
ditinggalkan di atas meja.
“Beberapa
hari lalu dia nemuin aku. Dia bilang dia harus dinas ke Makassar dan
ingin menikah sebelum kesana. Dia ingin menikahnya sama aku.”
“Cieee..”
Sakti tersenyum meledekku.
“Ih
kamu malah ngeledek..”
“Kalo
kamu mau nikahnya sama aku, emang kamu mau nunggu?”
“Nunggu
apa?”
“Nunggu
waktunya pas..”
“Waktu
pas itu definisinya gimana?”
“Nunggu
tabunganku cukup buat beli rumah”
“Kira-kira
kapan?”
“Mungkin
dua atau tiga tahun lagi..”
Sakti
menatapku yang sedang mencerna percakapan. Ia mengusap pipiku dengan
punggung tangannya.
“Sayang
maaf ya aku ngga bisa dalam waktu dekat ini beli rumahnya”
Aku
tersenyum mendengar kalimatnya lalu mengangguk.
***
Aku
merebahkan tubuhku di atas kasur. Pertemuanku dengan Sakti tadi entah
kenapa tidak membuatku menemukan jawaban yang pasti. Tapi setidaknya
aku sudah bercerita tentang Bima. Itu cukup membuatku tenang. Mungkin
memang butuh proses dua atau tiga kali pembahasan.
TIGA
Pagi-pagi
sekali Sakti menelponku. Padahal, kami biasa bertemu setiap Sabtu
atau Minggu. Dan ini masih hari Rabu. Sakti mengajakku ke kafe
sepulang kantor nanti. Aku mengiyakan. Entah ada apa, tumben sekali
ia mengajak bertemu sepulang kantor. Ah, mungkin ia rindu. Aku
tersenyum menatap diriku di kaca. Lalu aku mandi dan bergegas ke
kantor setelah mematut diri di kaca dan memastikan semua sudah siap.
Tidak
banyak pekerjaan yang aku kerjakan hari ini. Hanya ada tiga meeting
yang harus aku jadwalkan. Bersama mahasiswa freelancer, klien,
dan staf di kantor.
Sakti
pulang lebih cepat dari biasanya. Jadi jam pulang kami hampir
berdekatan. Biasanya Sakti pulang jam 5, sedangkan aku keluar kantor
jam 3. Kali ini, Sakti pulang jam 2. Ia menjemputku di lobby kantor.
Aku melempar senyum begitu pintu lift terbuka dan Sakti tepat duduk
berhadapan lurus dengan lift yang aku naiki. Ia menatapku dengan
teduh. Ia bangkit dan meraih tanganku dalam genggamannya. Kafe di
daerah Senopati menjadi pilihan kami.
“Kamu
suka ngga sama Bima Al?” Sakti membuka percakapan sambil mengunyah
roti.
“Nngg..
Ngga tau deh”
“Ko
ngga tau? Berarti ngga ‘ngga suka’ juga dong ya?”
“Ih
kamu.. Kok nanyanya gitu sih..”
“Aku
mikirin aja, ngga adil rasanya kalo aku minta kamu buat nunggu aku.
Sementara aku sendiri ngga yakin sama dua tahun lagi itu..”
“Sakti..”
“Al,
mungkin Bima memang yang Tuhan siapkan buat kamu.”
Aku
terkejut mendengar ucapan Sakti. Mengapa ia bisa berpendapat seperti
itu? Aku sama sekali tidak menyangka Sakti akan seperti ini.
“Kapan
Bima berangkat ke Makassar?”
Aku
terdiam. Entah. Mulutku seperti terkunci oleh kalimat yang keluar
dari mulutnya tadi.
“Al..”
ia menatapku dan mengusap punggung tanganku dengan telapak tangannya.
Mataku
mulai berkaca-kaca.
“Senin
mungkin ia ke Makassar” kataku sambil menahan airmata di pelupuk
mataku.
“Kalo
aku ngga mau nikah sama Bima?”
“Kenapa
ngga mau?”
“Karena
aku mau nunggu kamu..”
“Al,
entah.. Pernikahan masih samar sekali di bayanganku..”
“Kenapa..”
kali ini aku tak kuat menahan. Airmata mengalir di pipiku.
Sakti
mengusap pipiku yang basah dengan ibu jarinya.
“Mungkin
kamu memang gak menekan aku untuk nikah, tapi aku tau kamu nunggu kan
Al selama ini.. Kamu perempuan, 25 tahun umur yang matang buat kamu
menikah. Mungkin sekarang saatnya. Tapi bukan sama aku..”
“Sakti..
Kamu rela aku nikah sama orang lain?” lagi-lagi aku tak kuat
menahan jatuhnya airmata. Kini aku memilih menghapusnya dengan
punggung tanganku sendiri dan menjauhkan tangan Sakti yang ingin
menyeka airmataku.
“Aku
justru ngga rela kamu kehilangan kesempatan nikah. Kalo kamu nunggu
aku, apa iya rencana Tuhan sama seperti yang kita rencanakan? Aku
terlalu takut Al minta kamu buat nunggu aku. Bima mungkin sekarang
sudah siap segalanya buat kamu. Rumah dinas, kendaraan, pekerjaan
yang menjamin hari tuanya. Sementara aku? Aku belum siap akan semua
itu, makanya aku belum berani ngajak kamu nikah. Al pernikahan itu
bukan untuk setahun dua tahun, tapi untuk seumur hidup.. Banyak hal
yang harus disiapkan bukan hanya untuk hari pernikahan, tapi juga
untuk selamanya”
“Aku
mungkin dulu emang pernah deket sama Bima waktu kita sempet putus.
Tapi Bima ngga pernah bisa menggantikan sosok kamu. Karena setelah
itu aku masih butuh kamu..”
“Al..
Kamu ngga perlu berusaha keras ngegantiin sosok aku dengan Bima. Ngga
perlu. Kamu cukup inget aku aja. Dan memahami bahwa Bima yang
kemudian akan jadi teman hidup kamu. Aku yakin kalau Bima udah berani
ngajak kamu nikah berarti dia siap segala urusan untuk seumur hidup
termasuk ngebahagiain kamu.. Sayang.. Liat aku..”
Aku
mengangkat kepalaku dan menatap mata Sakti yang teduh dan ada
ketegaran disana.
“Jangan
nangis.. Kamu justru dijemput sama kebahagiaan, harusnya kamu
menyambutnya dengan suka cita” Sakti tersenyum menguatkan aku
sambil membersihkan airmata di sekitar mataku.
***
Aku
mengirim pesan untuk Bima.
To:
BimaBim..
From:
BimaYa Al?
To:
Bima
Aku mau ketemu..
Ponselku
bergetar. Ada panggilan masuk. Bima.
“Mau
ketemu dimana Al?”
“Mmm..
Dimana aja terserah..”
“Yaudah
aku jemput ya”
“Iya..”
Kali
ini ia menjemputku dengan mobil. Mungkin motornya sudah dikirim ke
Makassar. Di mobil, kami terdiam. Kaku sekali rasanya.
“Bim..”
“Tunggu
Al, mau ngomong disini aja? Kalo iya aku minggirin mobil dulu..”
“Ih
ko bikin deg-degan sih Bim..”
Entah
ini karena Bima atau karena kalimat yang akan aku ucapkan yang
membuat jantungku seperti ingin keluar dari tulang rusukku. Mungkin
karena keduanya, jantungku berdegup hebat sekali.
“Kenapa
deg-degan..” Bima membanting stir meminggirkan mobilnya.
Bima
menatapku, menunggu pernyataanku. Masih tatapan yang dulu. Yang
membuat jantungku berdegup kencang tiap kali mataku tepat menatap
matanya yang sedang menatapku.
“Nnggg..”
“Alya..”
Bukannya
buka suara aku justru menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
“Loh
ko ditutupin sih mukanya..”
“Aku
malu Bima..”
Bima
tertawa.
“Mau
sambil makan aja ngomongnya?”
Aku
mengangguk masih dengan wajah yang kututup dengan tanganku.
“Iya
iya yaudah.. Lucu banget sih kamu Al..” Bima terlihat geli menahan
tawa melihat kelakuanku.
Aku
melepaskan telapak tangan dari wajahku ketika mobil ini kembali
melaju. Sesekali aku mencoba memperhatikan Bima dari sudut mataku.
Sepertinya Bima tau aku begitu gugup. Ia mencairkan suasana dengan
bertanya banyak hal. Akupun perlahan merasa rileks sampai cerewetku
mulai keluar.
Akhirnya
kami sampai di Moccafé. Kafe baru yang sedang digandrungi anak
Jakarta. Cahayanya yang temaram menyatu dengan dekorasi kafe ini,
begitu membuat nyaman bahkan sejak kita membuka pintu. Kafe ini ramai
sekali pengunjung, tapi sama sekali tidak terasa gaduh. Riuh suara
orang yang sedang berbincang samar-samar terasa di telingaku. Bima
memilih dua pasang kursi dan meja di sebelah jendela besar. Kami
duduk berhadapan. Aku melihat pemandangan luar kafe ini dari kaca di
sebelahku sementara Bima berbicara dengan pelayan. Pelayan itu pergi
setelah mencatat pesanan Bima. Bima menatap sekeliling lalu tersenyum
memandangku.
“Enak
ngga kafenya Al?”
Aku
menoleh menatapnya. Mengangguk perlahan tanda aku merasa nyaman
dengan kafe ini. Aku memperhatikan orang yang keluar masuk. Begitu
sering pintu itu dibuka. Baru saja beberapa orang keluar, tak lama
masuk lagi pengunjung. Begitu terus-terusan. Kafe ini seperti tak
pernah sepi. Aku kembali menatap Bima di hadapanku. Dia seperti
sedang mengetik pesan di ponselnya. Diam-diam aku memperhatikan Bima.
Ia lebih tampan malam ini. Dengan kemeja warna biru tua motif
kotak-kotak dan daleman kaos hitam yang mengintip dari dadanya yang
terlihat bidang. Jam tangan hitam yang melingkar di tangan kirinya
menambah Bima terlihat casual dan rapi. Bima meletakkan ponselnya di
meja lalu menatapku yang sedang memperhatikannya.
“Kenapa..”
tanya Bima.
Aku
tersenyum dan menggelengkan kepalaku. Pelayan datang membawakan
makanan yang dipesan Bima. Ia memesankan aku sandwich dan lemon tea,
juga satu cemilan -yang entah apa namanya- untuk kami berdua.
Ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari Nourah sahabatku.
From:
Nourah
Alyaaaaa aku liat kamu sama cowo, tapi bukan Sakti.
Heeeey itu siapaaaa?
Aku
melempar pandangan ke sekeliling mencari Nourah. Tapi aku tidak
menemukan sosoknya.
To:
Nourah
Hihihi kok tau sih? Kamu dimanna Nouuur?
From:
NourahTadi aku liat kamu baru masuk Moccafé. Tapi aku
udah di mobil mau keluar parkiran sama Juna..
Aku
tersenyum lalu memasukkan ponselku tanpa membalas pesan Nourah.
“Ada
temen kamu Al disini?”
“Iya
tadi, tapi udah pulang katanya..”
Aku
mulai memakan sandwich yang Bima pesankan untukku. Aku sudah tak
segugup tadi sewaktu di mobil. Suasana pun tidak terasa kaku meskipun
kami belum banyak ngobrol.
“Kamu
sering kesini ya Bim?” tanyaku.
“Ngga
sih cuma beberapa kali..”
“Sama
Salwa ya?” aku menggoda Bima.
Ia
tertawa. “Ngga, sama temen-temen ko..”
Aku
tersenyum dan mengangguk-angguk tanda percaya pada pembelaannya.
Kemudian kami larut pada makanan kami masing-masing sampai akhirnya
aku..
“Bim..”
Ia
menatapku.
“Mmm
kamu kenapa mau ngajak aku nikah?”
“Karena
aku yakin”
“Kenapa
yakin?”
Bima
hanya tersenyum. Ia terlihat berpikir. Bima merapikan pisau dan garpu
di atas piring makannya yang sudah kosong. Ia lalu menyingkirkan
piring itu agar tangannya bisa leluasa di atas meja.
“Al..
Mungkin aku terlalu lama mengelak kalau aku sebenarnya menaruh hati
sama kamu. Aku seperti pura-pura tidak merasakannya. Terlebih kamu
juga seorang yang punya pacar. Sampai pada akhirnya aku ingin menikah
dan yang muncul di kepalaku cuma kamu dan terus kamu”
Kini
giliran aku yang merapikan peralatan makanku di atas piring yang
sudah kosong. Aku juga menyingkirkannya agar mudah diambil oleh
pelayan.
“Jadi..
Apa yang mau kamu sampein ke aku?” Bima tersenyum dan menunggu
responku.
Aku
tersenyum menahan malu ditatap Bima seperti itu. Ia membuatku salah
tingkah. Aku menarik selembar tisu dari kotaknya lalu memberikannya
pada Bima.
“Buat
apa Al?”
“Buat
nutup muka kamu”
“Kenapa
emangnya?” Bima kebingungan.
“Aku
malu. Jadi kamu dengerinnya sambil ditutup ya mukanya hehehe..”
“Ngga
mau ah” Bima meledekku.
“Yaudah
aku gak mau ngomong kalo gitu”
“Hmm
curang..”
“Jangan
dibuka kalo belum aku minta ya”
Bima
mengangguk menuruti perintahku. Wajahnya sudah tertutup oleh selembar
tisu yang tadi aku berikan padanya. Aku geli menahan tawa melihatnya.
“Bima..”
“Ya..”
“Hmmm..
Iya.. Aku.. Mmmm.. Mau dilamar kamu..”
“Serius
Al?” Bima membuka selembar tisu yang menutupi wajahnya.
“Eeeh
kan belom aku suruh buka” aku kaget melihat Bima yang menatapku
dengan sumringah padahal aku belum mengomandokan untuk membuka
lembaran tisu yang menutup wajahnya.
“Oh
iya” Bima kembali menutup wajahnya.
“Hmm
apalagi ya, udah deh”
“Udah
nih Al?”
“Iya”
“Aku
buka ya?”
“Iyaaa..”
Bima
kembali menatapku dengan sumringah. Aku malu. Lalu gantian, aku
menutup wajahku dengan tanganku.
“Aaaa
Bima aku maluuuu”
“Hahaha”
Bima
tertawa lepas sekali. Bebannya selama menunggu jawabanku seakan lepas
bersama suara tawanya. Aku mengintipnya dari sela-sela jariku yang
masih menutupi wajahku.
“Ih
udah jangan ditutupin terus..” Bima menarik tanganku.
Kini
kami saling menatap. Lalu Bima merogoh sesuatu di saku celananya. Ia
menggenggam kotak kecil dan membukanya dihadapanku. Aku melihat
sebuah cincin di dalam kotak itu.
“Ini
buat kamu..” Bima menarik tangan kananku dan memasukkan cincin ke
jari manisku. Agak sedikit longgar tapi tidak membuat cincin itu
mudah keluar dari jariku. Entah pilihan siapa, cincin itu cantik
dihiasi satu batu permata ukuran sedang. Mataku berkaca-kaca. Aku
bahagia dan terharu.
“Aaa
Bima.. Makasih..” kini aku menatap Bima dengan sumringah dan mata
berkaca-kaca.
Bima
mengecup punggung tanganku kemudian menyeka airmata di sudut mataku
sambil tersenyum.
***