Tuesday, April 16, 2013

I'll be here someday..

Candi Ratu Boko, Yogyakarta




Peucang Island, Ujung Kulon




Wakatobi, Sulawesi Tenggara



Kepulauan Derawan, Kalimantan




Cenotes, Meksiko




Goa Jomblang, Yogyakarta




Venice, Italy




Image source: Google

Next dream vacation will post soon..

How difficult people to say I Love You




I am surprised how difficult for people is to say "I love you". They only say the three magic words when they are sure they will hear "I love you too" back. C'mon! Spread the energy of love without expecting anything! Cowards are incapable of expressing love; it is the prerogative of the brave.

― Paulo Coelho

True!




“If you love someone, you must be prepared to set them free.” 
 

― Paulo Coelho, The Winner Stands Alone 

This Feeling..



"I’ve learned that waiting is the most difficult bit, and I want to get used to the feeling, knowing that you’re with me, even when you’re not by my side."

― Paulo Coelho, Eleven Minutes


Am I Part of Your Dream?



“If I am really a part of your dream, you'll come back one day.”
 

― Paulo Coelho

Quote of Love by Paulo Coelho


"Cinta adalah kekuatan liar. Ketika kita mencoba untuk mengendalikan, itu menghancurkan kita. Ketika kita mencoba untuk memenjarakan, itu memperbudak kita. Ketika kita mencoba untuk memahaminya, ia meninggalkan kita merasa tersesat dan bingung."


― Paulo Coelho


I believe..


“When someone leaves, it's because someone else is about to arrive.”
Paulo Coelho, The Zahir

Kehilangan



"Apapun bentuk kehilangan itu, cara terbaik untuk memahaminya adalah dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi yang ditinggalkan"

-read somewhere-


Mumble


If we can be forever, can we at least be together?

Tentang Selamat Pagi



"Kepada kalian yang masih bisa mengucap 'Selamat Pagi' untuk orang terkasih, bersyukurlah.."


-Gumaman gue pas bangun tidur 6 April 2013-

Hujan dan Kenangan




"Saat hujan, semua orang lebih memilih diam di dalam rumah. Yang rame cuma kenangan, semua berebut masuk ke dalam pikiran" -Efha, 22 tahun (baru aja patah hati sepuluh hari yang lalu)-




Semburat Kata



"Kadang, perempuan yang sedang patah hati justru senang menyakiti dirinya sendiri. Seperti; memutar Don't You Remember-nya Adele berulangkali." -Gue-



Monday, April 15, 2013

Partenaire


SATU

Ponselku bergetar berkali-kali diatas meja. Ada panggilan masuk. Kulihat layar ponselku. Sesaat aku terdiam melihat nama yang muncul pada layar ponselku. Bima? Mau apa dia menelponku? Aku hanya memandang layar yang kedap-kedip hingga ponselku berhenti bergetar. Mungkin aku terlalu lama berpikir sampai Bima memutus panggilan telponnya. Ada perasaan menyesal kenapa aku tidak buru-buru mengangkatnya. Bukankah aku ingin sekali kembali dekat dengan Bima? Mengapa aku tidak mengangkat telponnya dengan semangat? Ah sudahlah mungkin ia datang hanya ingin memberiku harapan seperti dulu. Aku meletakkan kembali ponselku. Belum sempat aku menjauh meninggalkan ponsel di atas meja, ponselku kembali bergetar. Bima.
Hallo”
Hei..”
Suara Bima. Bahkan hanya suaranya saja sudah mampu membuat badanku mendadak ringan dan perlahan meninggalkan bumi yang kupijak. Tidak! Aku harus kuat mendengar suara teduh ini. Aku tidak boleh kembali terbuai dan tenggelam seperti waktu itu.
Hei Bim..”
Ternyata kamu masih nyimpen nomor aku ya.. Atau kamu hapal suaraku?”
Hmm dua-duanya mungkin.. Ada apa ya Bim?”
Kamu ada waktu? Pengen ngobrol..”
Kapan?”
Sekarang..”
Hah? Sekarang?”
Kenapa? Nggak bisa ya Al?”
Bukan. Bingung aja ko mendadak”
Iya nih”
Hmm ngobrol apa?”
Nanti aja kalo udah ketemu aku jelasin ya. Aku jemput 1 jam lagi ya”
Mmm oke..”
***
Entah apa yang membuat bibirku terus menutup sepanjang perjalanan. Padahal dulu saat kami sedekat ini, justru aku yang lebih sering menanyakan banyak hal padanya di atas motor di sepanjang perjalanan kami, kemanapun. Kali ini aku diam. Begitu pun dia. Aku terlalu keras berpikir apa yang kira-kira ingin ia sampaikan padaku sampai semendadak ini meminta bertemu. Mungkin ia juga terlalu asyik dengan pikirannya, menata kalimat yang nanti akan ia ucapkan padaku. Aku mulai berharap dia mengutarakan yg dulu sempat tercekat di mulutnya tentang balasan perasaannya padaku. Atau dia hanya ingin memberikan aku undangan hari jadi pernikahannya dgn wanita itu. Entahlah. Kami duduk di bangku luar restoran cepat saji ini. Pilihanku. Ia hanya mengangguk saat aku menunjuk meja dan bangku yang saat ini tengah kami duduki. Kami duduk berhadapan. Setelah saling menatap dengan kikuk, Bima membuka percakapan.
Aku akan di tempatkan di Makasar”
Wah selamat ya.." aku sumringah mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulutnya.
"Eh tapi jauh dari Mama kamu dong ya Bim..”
Dia hanya tersenyum sedikit. Ia menatapku. Lama dan begitu dalam. Entah apa yang sedang ia rangkai di kepalanya. Aku penasaran. Aku menatapnya dengan tatapan ayo-apa-yang-mau-kamu-sampaikan? Oke aku mencoba mencairkan suasana.
"Jadi ceritanya kamu mau pamer ya kalo dapet dinasnya di Makassar?"
Lagi-lagi ia hanya tersenyum.
Aku mau ngelamar kamu sebelum berangkat ke Makassar”
Lidahku tercekat. Aku menatapnya dengan tatapan terkejut. Sangat terkejut.
Aduh maaf ya bikin kaget”
Bim? Ngelamar?”
Ia mengangguk.
Kok aku?”
Ngga tau, aku ngerasa yakin kalau kamu yang Tuhan kasih buat nemenin aku seumur hidup”
Kenapa bisa ngerasa gitu?”
Ngga tau, mungkin isyarat Tuhan”
Isyarat apa?”
Jodoh”
Aku mengerutkan dahi. Bagaimana bisa dia merasa aku adalah jodohnya sementara saat ini aku sedang berpacaran dengan Sakti.
Kamu ngomong begini sama aku emang ngga inget sama Salwa?”
Alya, ngga mungkinlah aku ngomong gini ke kamu sementara aku masih sama Salwa. Aku udah ngga sama Salwa lagi, sejak aku jujur bilang perasaan yang aku rasain ke kamu”
Hah? Kamu bilang ke Salwa?”
Iya.. Abis dia bilang aku keliatan beda. Dia nanya terus aku ini kenapa”
Kapan kamu bilang ke Salwa?”
Kemarin”
Mataku membelalak. Aku melempar pandangan ke sekeliling. Takut-takut aku sedang dikerjai. Pemandangan sekelilingku terlihat normal dan tidak janggal sama sekali. Semua bergerak natural. Tidak seperti sedang di-setting. Tidak sama sekali. Aku kembali menatapnya yang masih menatapku.
Bima, kamu tau kan aku masih sama Sakti?''
Dia mengangguk.
Aku bilang apa nanti ke Sakti?”
Ia tertawa. “Al, kamu bahkan belum ngejawab aku, kenapa udah bingung mau bilang apa ke Sakti? Berarti mau ya?”
Nnggg.. Ya bukan.”
Yaudah, jawab dulu”
Harus sekarang?”
Aku berangkat minggu depan”
Kamu ini mau bikin aku gila? Tiba-tiba ngajak ketemu bilang mau ngelamar aku dan aku harus jawab dalam kurang dari seminggu?”
Aku bahkan baru tau hari ini kalau aku harus ke Makasar minggu depan..”
Aku terdiam.
Tenang aja, ada 24 jam dalam sehari. Itu berarti kamu punya waktu setidaknya lebih dari 150 jam. Masih lama Alya..”
Seminggu itu sebentar Bima..” Aku menundukkan kepalaku.
Ia bangkit dari kursi yang ia duduki, lalu sepuluh menit kemudian kembali membawa 2 ice cream green tea.
Rileks aja..” Ia menyerahkan 1 ice cream di tangan kanannya padaku.
Makasih..” aku membuka tutup cup ice cream dan mulai menyuapnya. Aku menatapnya dengan banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku sambil sesekali menyuap ice cream ke dalam mulutku.
Jangan ngobrol sama diri sendiri.. Tanya aja kalo emang ada yg mau kamu tanyain” ucapnya membuyarkan pikiranku.
Aku melempar pandangan ke aspal luar restoran. Dan aku kembali melanjutkan obrolan dengan pikiranku sendiri, membiarkan ia yang menatapku sesekali dengan tatapan menunggu responku. Aku memang sempat berharap kalau pertemuan ini karena Bima ingin mengutarakan perasaannya yang dulu tertahan. Tapi bahkan ini lebih dari sekedar harapanku. Dia justru mau melamarku. Tuhan, engkau begitu pandai memainkan emosiku. Hubunganku bersama Sakti tidak mungkin aku akhiri. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Begitu banyak yang aku lewati bersama Sakti. Tiba-tiba kepalaku membayangkan sosok Sakti saat sedang tersenyum. Entah kenapa aku justru ingin marah. Skenario macam apa ini Tuhan?




DUA

Bima adalah teman SMP ku. Aku pernah dekat dengannya saat aku putus dengan Sakti kira-kira 4 tahun yang lalu. Dan sampai empat tahun kemudian kedekatan bersama Bima pada saat itu masih terasa. Ya, sampai hari ini. Mungkin karena Bima sama sekali tidak membiarkan aku tau apa yang ia rasakan padaku. Bima membuatku penasaran. Itulah sepertinya yang terus menggelayuti pikiranku ketika aku teringat sosoknya secara tiba-tiba. Bahkan aku seperti kembali ke situasi empat tahun lalu ketika tiba-tiba mengingatnya. Entahlah. Mungkin memang Bima pandai membuat perempuan terbuai. Atau justru aku yang mudah terbuai.
***
Malam ini aku bertemu Sakti. Tidak, aku tidak merencanakan untuk menceritakan apa yang kemarin Bima katakan padaku. Aku bahkan tak ingin Sakti tau. Aku benar-benar bingung bagaimana menyampaikannya. Aku takut Sakti justru akan merelakan aku pada Bima. Aku telah jauh bermimpi, aku berdiri di samping Sakti saat di pelaminan nanti dengan mengenakan pakaian pengantin adat Jawa. Tapi bukankah aku bisa menolak Bima? Toh aku memang ingin menikah dengan Sakti kan? Kenapa perasaanku justru mengarahkan aku harus menerima Bima.. Ah Tuhan..
Kamu kenapa sih sayang?” Sakti mengagetkanku.
Nnggg ngga..”
Aku merekatkan telapak tanganku di genggaman Sakti, berusaha memperlihatkan aku yang nyaman-nyaman saja. Sebenarnya aku takut kalau Sakti merasakan kegelisahanku. Kami berjalan ke loket bioskop setelah melihat jadwal tayang film hari ini. Aku menyerahkan pilihan film, jam tayang dan tempat duduk kepada Sakti. Sakti menyerahkan uang dan menerima beberapa lembar uang kembalian dari petugas loket.
Tumben kamu ngga rewel, biasanya maunya duduk di tengah..” kata Sakti sumringah dan kembali menggenggam tanganku sambil berjalan menuju eskalator turun.
Udah jam segini pasti udah ada yang duduk di bangku kita itu. Ya kan? Jadi yasudahlah..” aku tersenyum menatap Sakti.
Kini kami sudah duduk berhadapan di resto sushi langganan kami. Satu mangkuk ramen panas sudah siap dihadapanku. Begitu pula dengan paket nasi bento milik Sakti. Aku dan Sakti melahapnya. Tidak pas rasanya kalau aku membahas masalah Bima saat ini. Kami harus makan dengan ngobrol yang singkat karena film akan segera mulai.
Kamu semalem aku telfon udah tidur ya?”
Belom, itu aku ke minimarket seberang beli roti tawar. Hehehe maaf ngga bawa handphone..”
Aku terpaksa bohong pada Sakti. Aaah maafkan aku Sakti. Aku pergi menemui Bima dan aku lupa membawa ponselku yang sedang aku charge di atas meja. Tapi beruntunglah tertinggal, entah bilang apa aku kalau Sakti menelepon saat aku sedang duduk di hadapan Bima. Aku merasakan ponselku bergetar dua kali. Pesan masuk. Aku membuka tasku dan melihat layar ponselku. Pesan dari Bima. Jantungku berdegup kencang. Takut kalau Sakti menanyakan aku sedang membaca pesan dari siapa.
From: Bima
Kabari aku ya Al kalau kamu udah tau jawabannya.. Have a nice weekend
Aku tidak membalasnya dan segera menghapus pesan dari Bima. Aku tau cepat atau lambat aku harus bicara pada Sakti. Tapi tidak sekarang.
Jam berapa Al?” Sakti memandangku yang sedang menggenggam ponsel.
Mmm masih 20 menit lagi filmnya”
Ayo abisin ramennya, nanti keburu dingin sayang..”
Aku ngga takut ko ramennya dingin. Kan ada kamu yang bisa menghangatkan.. Hahaha”
Sakti tertawa mendengar ledekanku. Aku juga tertawa melihat pipinya yang bersemu merah. Aku mencoba menikmati hari ini dan sedang berpura-pura lupa akan lamaran Bima.
***
Setelah pamit pada ibu, aku mengantar Sakti sampai depan rumah. Sakti mengecup keningku lalu mengusap rambutku dan masuk ke dalam mobil. Aku masuk ke dalam rumah dan bicara pada Ibu. Aku menceritakan Bima saat kami masih SMP dulu. Aku dan Bima memang hanya teman sekelas dan tidak pernah lebih dari itu. Bahkan kami jarang sekali ngobrol layaknya teman. Dan aku menceritakan pertemuanku kemarin dengan Bima.
Ibu sih terserah kamu Al, meskipun umur kamu udah matang buat menikah, kalau kamunya belum yakin Ibu gak akan memaksakan.. Apa Sakti tau?”
Aku menggeleng. “Bu, aku mau nikahnya sama Sakti sebenernya. Cuma..”
Cuma apa?”
Cuma aku gak mau menekan Sakti supaya buru-buru”
Sebenarnya punya target itu juga bagus. Kalian pernah membahas target?”
Aku kembali menggeleng. “Eh pernah Bu. Umur 27 atau 28 kata Sakti..”
Kamu mau menunggu 2 tahun lagi?”
Ngga tau, aku sih jalanin aja..”
Ibu tersenyum. “Shalat istikharah.. Serahkan sama Tuhan..”
Aku menunduk kemudian mengangguk pelan.
***
Bangun di Minggu pagi ini kepalaku langsung memutar kenangan bersama Sakti dengan sendirinya. Mungkin diriku sedang mengingatkan bahwa begitu banyak hal indah bersama Sakti. Atau justru sedang nostalgia yang sebentar lagi harus aku tinggalkan. Aku tak benar-benar mengerti maksud kepalaku yang tiba-tiba terus memutar kenangan bersama Sakti 7 tahun belakangan ini. Aku mulai membayangkan masa depanku bersama Bima. Aku memang pernah membayangkan hal ini. Dulu. Saat aku dekat dengannya dan dibuat senang tiapkali bertemu. Aku selalu mengulang percakapan dengan Bima sesampainya di kamar hingga aku senyum-senyum sendiri. Rasanya senang sekali. Ya, itu dulu. Empat tahun yang lalu. Tapi rasanya seperti bukan 4 tahun lalu. Rasanya seperti sebulan atau bahkan seminggu yang lalu. Masih terasa sekali. Aku berjalan ke kaca dan duduk dihadapannya. Aku melihat pantulan diriku. Lalu beralih memandang fotoku bersama Sakti yang aku tempel di kaca. Aku terdiam. Melihat senyumnya seperti muncul keinginan untuk bicara pada Sakti tentang Bima.
***
Sakti menjemputku setelah urusan dengan orang kantornya selesai. Lalu kami pergi ke kafe terdekat.
Baru ketemu kemaren udah kangen lagi ya?” Sakti duduk di sofa sebelahku.
Kalo ada yang ngelamar aku gimana?”
Sakti terdiam.
Aku mau nikahnya sama kamu ko tapi..” aku merangkul tangan Sakti dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
Emang serius ada yang ngelamar kamu?”
Aku diam. Aku mengangkat kepalaku dan memandang Sakti. “Gatau sih ngelamar apa bukan..”
Sakti menyeruput kopinya.
Aku pernah cerita tentang temen SMP aku yang namanya Bima?”
Sakti mengangguk lalu meletakkan kembali cangkir kopinya di cawan yang ia ditinggalkan di atas meja.
Beberapa hari lalu dia nemuin aku. Dia bilang dia harus dinas ke Makassar dan ingin menikah sebelum kesana. Dia ingin menikahnya sama aku.”
Cieee..” Sakti tersenyum meledekku.
Ih kamu malah ngeledek..”
Kalo kamu mau nikahnya sama aku, emang kamu mau nunggu?”
Nunggu apa?”
Nunggu waktunya pas..”
Waktu pas itu definisinya gimana?”
Nunggu tabunganku cukup buat beli rumah”
Kira-kira kapan?”
Mungkin dua atau tiga tahun lagi..”
Sakti menatapku yang sedang mencerna percakapan. Ia mengusap pipiku dengan punggung tangannya.
Sayang maaf ya aku ngga bisa dalam waktu dekat ini beli rumahnya”
Aku tersenyum mendengar kalimatnya lalu mengangguk.
***
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Pertemuanku dengan Sakti tadi entah kenapa tidak membuatku menemukan jawaban yang pasti. Tapi setidaknya aku sudah bercerita tentang Bima. Itu cukup membuatku tenang. Mungkin memang butuh proses dua atau tiga kali pembahasan.




TIGA

Pagi-pagi sekali Sakti menelponku. Padahal, kami biasa bertemu setiap Sabtu atau Minggu. Dan ini masih hari Rabu. Sakti mengajakku ke kafe sepulang kantor nanti. Aku mengiyakan. Entah ada apa, tumben sekali ia mengajak bertemu sepulang kantor. Ah, mungkin ia rindu. Aku tersenyum menatap diriku di kaca. Lalu aku mandi dan bergegas ke kantor setelah mematut diri di kaca dan memastikan semua sudah siap.
Tidak banyak pekerjaan yang aku kerjakan hari ini. Hanya ada tiga meeting yang harus aku jadwalkan. Bersama mahasiswa freelancer, klien, dan staf di kantor.
Sakti pulang lebih cepat dari biasanya. Jadi jam pulang kami hampir berdekatan. Biasanya Sakti pulang jam 5, sedangkan aku keluar kantor jam 3. Kali ini, Sakti pulang jam 2. Ia menjemputku di lobby kantor. Aku melempar senyum begitu pintu lift terbuka dan Sakti tepat duduk berhadapan lurus dengan lift yang aku naiki. Ia menatapku dengan teduh. Ia bangkit dan meraih tanganku dalam genggamannya. Kafe di daerah Senopati menjadi pilihan kami.
Kamu suka ngga sama Bima Al?” Sakti membuka percakapan sambil mengunyah roti.
Nngg.. Ngga tau deh”
Ko ngga tau? Berarti ngga ‘ngga suka’ juga dong ya?”
Ih kamu.. Kok nanyanya gitu sih..”
Aku mikirin aja, ngga adil rasanya kalo aku minta kamu buat nunggu aku. Sementara aku sendiri ngga yakin sama dua tahun lagi itu..”
Sakti..”
Al, mungkin Bima memang yang Tuhan siapkan buat kamu.”
Aku terkejut mendengar ucapan Sakti. Mengapa ia bisa berpendapat seperti itu? Aku sama sekali tidak menyangka Sakti akan seperti ini.
Kapan Bima berangkat ke Makassar?”
Aku terdiam. Entah. Mulutku seperti terkunci oleh kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.
Al..” ia menatapku dan mengusap punggung tanganku dengan telapak tangannya.
Mataku mulai berkaca-kaca.
Senin mungkin ia ke Makassar” kataku sambil menahan airmata di pelupuk mataku.
Kalo aku ngga mau nikah sama Bima?”
Kenapa ngga mau?”
Karena aku mau nunggu kamu..”
Al, entah.. Pernikahan masih samar sekali di bayanganku..”
Kenapa..” kali ini aku tak kuat menahan. Airmata mengalir di pipiku.
Sakti mengusap pipiku yang basah dengan ibu jarinya.
Mungkin kamu memang gak menekan aku untuk nikah, tapi aku tau kamu nunggu kan Al selama ini.. Kamu perempuan, 25 tahun umur yang matang buat kamu menikah. Mungkin sekarang saatnya. Tapi bukan sama aku..”
Sakti.. Kamu rela aku nikah sama orang lain?” lagi-lagi aku tak kuat menahan jatuhnya airmata. Kini aku memilih menghapusnya dengan punggung tanganku sendiri dan menjauhkan tangan Sakti yang ingin menyeka airmataku.
Aku justru ngga rela kamu kehilangan kesempatan nikah. Kalo kamu nunggu aku, apa iya rencana Tuhan sama seperti yang kita rencanakan? Aku terlalu takut Al minta kamu buat nunggu aku. Bima mungkin sekarang sudah siap segalanya buat kamu. Rumah dinas, kendaraan, pekerjaan yang menjamin hari tuanya. Sementara aku? Aku belum siap akan semua itu, makanya aku belum berani ngajak kamu nikah. Al pernikahan itu bukan untuk setahun dua tahun, tapi untuk seumur hidup.. Banyak hal yang harus disiapkan bukan hanya untuk hari pernikahan, tapi juga untuk selamanya”
Aku mungkin dulu emang pernah deket sama Bima waktu kita sempet putus. Tapi Bima ngga pernah bisa menggantikan sosok kamu. Karena setelah itu aku masih butuh kamu..”
Al.. Kamu ngga perlu berusaha keras ngegantiin sosok aku dengan Bima. Ngga perlu. Kamu cukup inget aku aja. Dan memahami bahwa Bima yang kemudian akan jadi teman hidup kamu. Aku yakin kalau Bima udah berani ngajak kamu nikah berarti dia siap segala urusan untuk seumur hidup termasuk ngebahagiain kamu.. Sayang.. Liat aku..”
Aku mengangkat kepalaku dan menatap mata Sakti yang teduh dan ada ketegaran disana.
Jangan nangis.. Kamu justru dijemput sama kebahagiaan, harusnya kamu menyambutnya dengan suka cita” Sakti tersenyum menguatkan aku sambil membersihkan airmata di sekitar mataku.
***
Aku mengirim pesan untuk Bima.
To: BimaBim..
From: BimaYa Al?
To: Bima
Aku mau ketemu..
Ponselku bergetar. Ada panggilan masuk. Bima.
Mau ketemu dimana Al?”
Mmm.. Dimana aja terserah..”
Yaudah aku jemput ya”
Iya..”
Kali ini ia menjemputku dengan mobil. Mungkin motornya sudah dikirim ke Makassar. Di mobil, kami terdiam. Kaku sekali rasanya.
Bim..”
Tunggu Al, mau ngomong disini aja? Kalo iya aku minggirin mobil dulu..”
Ih ko bikin deg-degan sih Bim..”
Entah ini karena Bima atau karena kalimat yang akan aku ucapkan yang membuat jantungku seperti ingin keluar dari tulang rusukku. Mungkin karena keduanya, jantungku berdegup hebat sekali.
Kenapa deg-degan..” Bima membanting stir meminggirkan mobilnya.
Bima menatapku, menunggu pernyataanku. Masih tatapan yang dulu. Yang membuat jantungku berdegup kencang tiap kali mataku tepat menatap matanya yang sedang menatapku.
Nnggg..”
Alya..”
Bukannya buka suara aku justru menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
Loh ko ditutupin sih mukanya..”
Aku malu Bima..”
Bima tertawa.
Mau sambil makan aja ngomongnya?”
Aku mengangguk masih dengan wajah yang kututup dengan tanganku.
Iya iya yaudah.. Lucu banget sih kamu Al..” Bima terlihat geli menahan tawa melihat kelakuanku.
Aku melepaskan telapak tangan dari wajahku ketika mobil ini kembali melaju. Sesekali aku mencoba memperhatikan Bima dari sudut mataku. Sepertinya Bima tau aku begitu gugup. Ia mencairkan suasana dengan bertanya banyak hal. Akupun perlahan merasa rileks sampai cerewetku mulai keluar.
Akhirnya kami sampai di Moccafé. Kafe baru yang sedang digandrungi anak Jakarta. Cahayanya yang temaram menyatu dengan dekorasi kafe ini, begitu membuat nyaman bahkan sejak kita membuka pintu. Kafe ini ramai sekali pengunjung, tapi sama sekali tidak terasa gaduh. Riuh suara orang yang sedang berbincang samar-samar terasa di telingaku. Bima memilih dua pasang kursi dan meja di sebelah jendela besar. Kami duduk berhadapan. Aku melihat pemandangan luar kafe ini dari kaca di sebelahku sementara Bima berbicara dengan pelayan. Pelayan itu pergi setelah mencatat pesanan Bima. Bima menatap sekeliling lalu tersenyum memandangku.
Enak ngga kafenya Al?”
Aku menoleh menatapnya. Mengangguk perlahan tanda aku merasa nyaman dengan kafe ini. Aku memperhatikan orang yang keluar masuk. Begitu sering pintu itu dibuka. Baru saja beberapa orang keluar, tak lama masuk lagi pengunjung. Begitu terus-terusan. Kafe ini seperti tak pernah sepi. Aku kembali menatap Bima di hadapanku. Dia seperti sedang mengetik pesan di ponselnya. Diam-diam aku memperhatikan Bima. Ia lebih tampan malam ini. Dengan kemeja warna biru tua motif kotak-kotak dan daleman kaos hitam yang mengintip dari dadanya yang terlihat bidang. Jam tangan hitam yang melingkar di tangan kirinya menambah Bima terlihat casual dan rapi. Bima meletakkan ponselnya di meja lalu menatapku yang sedang memperhatikannya.
Kenapa..” tanya Bima.
Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku. Pelayan datang membawakan makanan yang dipesan Bima. Ia memesankan aku sandwich dan lemon tea, juga satu cemilan -yang entah apa namanya- untuk kami berdua. Ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari Nourah sahabatku.
From: Nourah
Alyaaaaa aku liat kamu sama cowo, tapi bukan Sakti. Heeeey itu siapaaaa?
Aku melempar pandangan ke sekeliling mencari Nourah. Tapi aku tidak menemukan sosoknya.
To: Nourah
Hihihi kok tau sih? Kamu dimanna Nouuur?
From: NourahTadi aku liat kamu baru masuk Moccafé. Tapi aku udah di mobil mau keluar parkiran sama Juna..
Aku tersenyum lalu memasukkan ponselku tanpa membalas pesan Nourah.
Ada temen kamu Al disini?”
Iya tadi, tapi udah pulang katanya..”
Aku mulai memakan sandwich yang Bima pesankan untukku. Aku sudah tak segugup tadi sewaktu di mobil. Suasana pun tidak terasa kaku meskipun kami belum banyak ngobrol.
Kamu sering kesini ya Bim?” tanyaku.
Ngga sih cuma beberapa kali..”
Sama Salwa ya?” aku menggoda Bima.
Ia tertawa. “Ngga, sama temen-temen ko..”
Aku tersenyum dan mengangguk-angguk tanda percaya pada pembelaannya. Kemudian kami larut pada makanan kami masing-masing sampai akhirnya aku..
Bim..”
Ia menatapku.
Mmm kamu kenapa mau ngajak aku nikah?”
Karena aku yakin”
Kenapa yakin?”
Bima hanya tersenyum. Ia terlihat berpikir. Bima merapikan pisau dan garpu di atas piring makannya yang sudah kosong. Ia lalu menyingkirkan piring itu agar tangannya bisa leluasa di atas meja.
Al.. Mungkin aku terlalu lama mengelak kalau aku sebenarnya menaruh hati sama kamu. Aku seperti pura-pura tidak merasakannya. Terlebih kamu juga seorang yang punya pacar. Sampai pada akhirnya aku ingin menikah dan yang muncul di kepalaku cuma kamu dan terus kamu”
Kini giliran aku yang merapikan peralatan makanku di atas piring yang sudah kosong. Aku juga menyingkirkannya agar mudah diambil oleh pelayan.
Jadi.. Apa yang mau kamu sampein ke aku?” Bima tersenyum dan menunggu responku.
Aku tersenyum menahan malu ditatap Bima seperti itu. Ia membuatku salah tingkah. Aku menarik selembar tisu dari kotaknya lalu memberikannya pada Bima.
Buat apa Al?”
Buat nutup muka kamu”
Kenapa emangnya?” Bima kebingungan.
Aku malu. Jadi kamu dengerinnya sambil ditutup ya mukanya hehehe..”
Ngga mau ah” Bima meledekku.
Yaudah aku gak mau ngomong kalo gitu”
Hmm curang..”
Jangan dibuka kalo belum aku minta ya”
Bima mengangguk menuruti perintahku. Wajahnya sudah tertutup oleh selembar tisu yang tadi aku berikan padanya. Aku geli menahan tawa melihatnya.
Bima..”
Ya..”
Hmmm.. Iya.. Aku.. Mmmm.. Mau dilamar kamu..”
Serius Al?” Bima membuka selembar tisu yang menutupi wajahnya.
Eeeh kan belom aku suruh buka” aku kaget melihat Bima yang menatapku dengan sumringah padahal aku belum mengomandokan untuk membuka lembaran tisu yang menutup wajahnya.
Oh iya” Bima kembali menutup wajahnya.
Hmm apalagi ya, udah deh”
Udah nih Al?”
Iya”
Aku buka ya?”
Iyaaa..”
Bima kembali menatapku dengan sumringah. Aku malu. Lalu gantian, aku menutup wajahku dengan tanganku.
Aaaa Bima aku maluuuu”
Hahaha”
Bima tertawa lepas sekali. Bebannya selama menunggu jawabanku seakan lepas bersama suara tawanya. Aku mengintipnya dari sela-sela jariku yang masih menutupi wajahku.
Ih udah jangan ditutupin terus..” Bima menarik tanganku.
Kini kami saling menatap. Lalu Bima merogoh sesuatu di saku celananya. Ia menggenggam kotak kecil dan membukanya dihadapanku. Aku melihat sebuah cincin di dalam kotak itu.
Ini buat kamu..” Bima menarik tangan kananku dan memasukkan cincin ke jari manisku. Agak sedikit longgar tapi tidak membuat cincin itu mudah keluar dari jariku. Entah pilihan siapa, cincin itu cantik dihiasi satu batu permata ukuran sedang. Mataku berkaca-kaca. Aku bahagia dan terharu.
Aaa Bima.. Makasih..” kini aku menatap Bima dengan sumringah dan mata berkaca-kaca.
Bima mengecup punggung tanganku kemudian menyeka airmata di sudut mataku sambil tersenyum.


***