Wednesday, November 21, 2018

Jangan jatuh cinta

Jangan cinta hingga terlalu jatuh
Jangan jatuh hanya karena cinta
Jangan cinta pada dia yang acuh tak acuh
Jangan acuh pada dia yang tak cinta

Jangan jatuh cinta
jika kau tau hanya hatimu yang bergemuruh

Karena pada suatu masa
kau akan mengutuk dirimu dungu
hanya karena cinta yang kau biarkan tumbuh

Friday, August 3, 2018

Degupan itu

Suatu malam sebelum tidur
aku pernah bertanya
pada dinding kamar
pada bantal tidur yang tak lagi membal
pada selimut yang warnanya tak lagi segar

Tentang bagaimana
rasanya berdekatan denganmu
hingga jantungmu debarannya dapat kudengar

Pertanyaan yang pernah kutanya
pada suatu malam
kemudian dijawab oleh dinding kamar
tapi bukan kamarku
bukan jua kamarmu
tapi ada kita di dalam situ

Telingaku yang rekat dengan bahumu
dapat mendengar degupan jantungmu yang berderu

Kutanya padamu
gugupkah kamu di dekatku?
kau tersenyum dan mengangguk
sambil menghindari mataku




Hatimu yang terdalam

Suatu sore
sebelum matahari ditelan
oleh langit malam

Aku pernah bergumam
tentang apa yang ada
di dalam hatimu
yang paling dalam

Apakah ada aku kau genggam?

Karna tatapanmu bukan tatapan seorang teman
Karna tatapanmu begitu dalam dan meneduhkan
Karna tatapanmu menawarkan dipan untukku bermalam
Karna tatapanmu menahan rasa tak tersampaikan

Tapi barangkali
itu hanya hatiku yang mengada-ada

Karna setelah kau bawa aku
masuk ke dalam hatimu
ada perempuan lain di sana
bersemayam
duduk diam
tenang
seperti yakin bahwa itu adalah ruang yang kau janjikan
untuk dia seorang

Lalu untuk apa kau panggil aku ke dalam?
Mau dimana aku kau letakkan?

Serakah

Aku pernah belajar
bahwa ada seseorang
yang hatinya serakah

tak ingin melepas
orang yang mencintainya
tak ingin juga merelakan
orang yang dicintainya

Ia ingin mendekap
dan didekap oleh keduanya
tanpa peduli
akan menyakiti kedua wanita
bahkan hatinya sendiri
bisa kesakitan
karna terluka

-------------------------------------
Dalam peralihan tanggal dua ke tanggal tiga

Wednesday, May 16, 2018

Kapan Kawin?!


WAW!!


WADUU MAKASY LOH BEB DAH MAU BACA EHEHEHE

Jadi gini, pertengahan 2017 lalu kubilang ke Ibuku kalo ingin nikah tahun depan (berarti tahun ini),

“Mah Efa taun depan mau nikah ya?”
“Heh sama siapa?”
“Iyain dulu ini minta restu, sama siapanya nanti dikasih tau”

Kenapa kubilang minta restu, karena ibuku pernah bilang di sebuah kesempatan kalo aku jangan nikah buru-buru. Jadi sebenernya aku nanya gitu ke Ibu adalah pingin tau udah dikasih restu apa belum.

“Apaansih kamu masih kecil”
“Heee??”

Trus ibuku nanya ke adikku,

“Emang mba umurnya berapa sih De?”
“Lah udah banyak dia umurnya, 25 ya mba? Apa udah 26 sih?”
“Ih masih kecil itu”
“Lah??” aku bingung.
“Masih 20an mah masih kecil. Nanti 30 tuh baru udah dewasa udah mateng buat nikah."



HAH 30??


YA ALLAH MAMAAAA MUDAH-MUDAHAN GAK DIAMININ MALAIKAT

"Coba, itu kamu bilang mau nikah tuh sm orang kayak apa mama mau tau”
“Ih mama restunya dulu”
“Enggak ah, nanti dikasih restu gak taunya orangnya gak bener”
“Ih yakali nikah sama orang ga bener”
“Pokonya kamu jangan nikah buru-buru. Nikah tuh gak gampang. Kamu nanti ngurusin suami, ngurus diri sendiri aja belum bener. Belum lagi nanti kamu hamil ih gimana coba? Mama mah gak kebayang kalo kamu hamil. Emang kamu bisa? Trus nanti ngelahirin. Ih mama mah gak kebayang..”




LAH PAANSI EMAK W YHA, NAPA DIA LEBAY HUFF


“Lah apaansi mama kan hamil juga ada suaminya”
“Maksudnya mama belum kebayang..”
“Ya gausah dibayangin..”
“Udah ah jangan buru-buru. Gak usah panik temen-temen kamu banyak yg udah nikah. Santai aja. Yang penting itu bukan cepetnya, tapi lama bertahannya. Mama gak mau kamu nanti nyesel pas udah nikah. Seneng-seneng dulu aja kamu puas-puasin main..”


EH GIMANA SIK EMAK W YHA, DISURUH PUAS-PUASIN MAIN LAH TEMEN MAINNYA DAH MULAI ABIS NEH KARENA UDAH PADA KAWIN DIA GATAU APAYA, AIH KUMAHA SI AMBU

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ridho orangtua adalah ridho Allah, maka mungkin restu Ibu juga restu Allah yang mana karna ibuku belum ngasih restu makanya Allah belum ngasih hilal menikah untuk aku.

Jadi gitu beb, ibuku aja selow banget, kenapa kalian harus mendesak-desak aku? Wkwkwk jadi yang pada nanya aku kapan kawin jawabannya adalah ibuku belum ngasih restu apalagi minta cucu. Yang mana sampai hari ini aku masih melakukan serangan lewat doa agar supaya ibuku nanyain kapan aku mau nikah. Pasti ada tuh netizen zulid yang dalam hatinya berseru "Lah emang kalo direstuin emak lu, calonnya udah ada fha?"

Hmmm ya nggak ada juga sih HAHAHAHA tapikan calon bisa dicari sementara restu ndak bisa kalo belum diberi.

INI EMAK W KEKNYA KETEPU SAMA BADAN ANAKNYA YANG MASIH KEK ANAK SEKOLAH DEH


Tapi tida juga sih beb, sebagai pribadi yang gagal membina keutuhan biduk rumah tangga (yes, she was divorced with my dad), ibuku tentu ada rasa kuatir anaknya tidak siap menjalani prahara rumah tangga setelah menikah. Aku memahami ketakutan ibuku itu. Karna dulu ibuku menikah di usia yang muda, jadi mungkin logika ibuku menyimpulkan bahwa kegagalannya adalah karna dia menikah di usia yang belum matang. Makanya dia gak ngerestuin aku nikah sekarang-sekarang ini, karna menurut dia belum matang. Hhhhhh

Ya kalo ditanya aku ingin nikah apa ngga tentu saja aku ingin lah, lha wong ibadah sendiri aja banyak banget pahalanya apalagi ibadah setelah menikah yang mana liat-liatan aja jadi pahala. Gimana aku gak ngerasa surga semakin dekat bersama suami yakan.

Tapi agaknya aku memang harus menahan gejolak ingin-segera-berbakti-pada-suami dulu. Positive thinkingnya adalah, mungkin dengan tertundanya restu ibuku ini adalah baik untukku. Karna barangkali kalau ibuku maksain ngasih restu justru jalannya nanti malah jadi ngga baik.

Karena..

Allah tidak menunda sesuatu kecuali untuk alasan yang baik.

Sohibul, apakah tidak cukup dengan melihat aku bahagia menjalani hidup membuat kamu bisa menahan pertanyaan "lo kapan kawin fha?" di tenggorokanmu? Jadi, sebenernya lewat tulisan ini aku cuma mau mengedukasi orang-orang yang suka nanya kapan kawin, kok belum hamil, kok belum lulus sih, kok lo ga sedih sih kerja ninggalin anak dan kok kok kok lainnya yang bahwa setiap orang itu punya pertarungan hidupnya masing-masing beb. Barangkali orang yang kamu lontarkan pertanyaan sederhana (menurut kamu) itu sedang berjuang melawan emosional dan semangat yang berkali-kali patah dalam dirinya tentang hal yang kamu tanyakan.

Barangkali yang kamu tanya kapan nikah itu dia lagi berjuang melawan trauma karna ayahnya suka memukul ibu dan anggota keluarga jadi dia takut untuk menikah. Barangkali yang kamu tanya kapan nikah itu dia lagi berjuang dari patah hati karna belum bisa melupakan orang di masa lalunya. Barangkali yang kamu tanya kapan nikah itu pernah dipukuli pacarnya jadi bikin dia takut untuk kembali percaya. Barangkali yang kamu tanya kapan nikah itu pernah dikhianati berkali-kali hingga takut untuk membangun biduk rumah tangga karna takut kembali diganggu orang ketiga. Rasa takut memang manusiawi, harusnya bisa dilawan. Tapi ketika ketakutan pada diri seseorang sudah begitu menguasai jiwanya hingga trauma, terus kamu dengan entengnya nanya hal yang jadi pemicu traumanya, kamu bukan lagi sedang berhadapan dengan manusia bersama rasa takutnya yang biasa, tapi kamu lagi berhadapan dengan seseorang yang mungkin mentalnya bisa semakin drop karena pertanyaan yang kamu anggap sederhana. 

Dan, barangkali orang yang kamu tanya "kok belum hamil sih" sedang menjalani program hamil yang telah gagal berkali-kali dan tengah menyulam semangatnya kembali. Barangkali orang yang kamu tanya "udah hamil belum" memang belum ingin punya keturunan karena satu dan lain hal. Barangkali orang yang kamu tanya "udah isi belum" baru saja menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa hamil karna sebuah alasan. Barangkali orang yang kamu tanya "udah hamil belum" itu dia juga udah pusing ditanya orang terus sampe bikin dia depresi dan sedang dalam perawatan psikiatri. Orang yang kamu tanya "udah hamil belum" itu juga lagi menunggu, alih-alih kamu yang nyuruh dia sabar kok malah kamu yang ga sabaran dengan nanyain melulu.

Juga, barangkali orang yang kamu tanya "kok ga sedih sih ninggalin anak kerja" selalu nangis ngerasa bersalah tiap pagi berangkat kerja karna merasa jadi ibu yang gak baik. Barangkali orang yang kamu tanya "kok ga sedih sih ninggalin anak kerja" sedang banyak butuh uang untuk kebutuhan keluarganya yang mana kalo minta kamu juga ga mungkin kan.

Kalo aku gimana ditanya kapan nikah? Sebenernya sih aku anaknya santai (alias jangan cuma nanya doanglah mending lau nyodorin calon wkwk), jadi aku cuma ingin orang tau sudut pandang yang lagi coba aku jelaskan ini. Jadi yah beb, kadang kita terbiasa dengan budaya pertanyaan di atas yang bikin kita nutup hati kalo;



Emangnya kenapa sih kalo kalian gak melontarkan pertanyaan-pertanyaan tadi itu? Apakah akan terjadi bencana alam yang mengancam penduduk bumi kalo kalian gak memastikan pertanyaan itu dijawab ybs? Apakah kalo yang kamu tanya "kapan nikah" trus dia nikah akan berpengaruh ke perekonomian kamu sampe ke cicit kamu langsung otomatis dapet tunjangan hidup? Apakah kalo yang kamu tanya "udah hamil apa belum" trus dia belum hamil akan mengancam hidup kamu? Apakah ibu yang bekerja meninggalkan anak telah kehilangan kemuliaan di mata kamu?

Sohibul, kalau niat kalian karena peduli, sungguh peduli paling tinggi adalah ketika kamu diam-diam menguntai doa untuknya. Karena pertanyaanmu sungguh lebih baik diganti dengan doa. Tapi ya gausah doa ke orangnya, "udah isi belom? belom ya? gue doain semoga cepet isi ya"

Ya kalo doa kan urusan pribadi sama Tuhan, doainnya pas ibadah aja cuy gausah diomongin ke orang yg lau doain. Kalo kamu cuma hobi nanya doang tapi tidak pernah barang sekali mendoakan diam-diam dalam solat atau sembahyang perihal yang kamu tanyakan, sungguh kamu sebenarnya sama sekali tidak benar-benar peduli alias cuma basa basi yang....duh basi banget asli.

Ohya, aku setuju banget sama artikel yang ditulis oleh Nurul Alfiah Kurniawati di website Gogirl dengan judul "Yang Nggak Harus Dimaafin dari Diri Kita di Tahun 2018" berikut penggalan artikelnya;

Our timelines: 
Ada temen kita yang wisudanya cepet, dapet kerjaan, nikah, punya anak.. itu gambaran hidup sempurna versi sinetron. The truth is.. kita semua punya masa kita sendiri-sendiri. Ada yang lulus kuliah telat tapi cepet dapet kerja, ada yang cepet dapet kerja tapi belum ketemu jodoh, ada yang udah nikah lama tapi belum dikaruniai momongan.. Hidup ini bukan perlombaan buat ngalahin dan ngunggulin orang lain, tapi buat ngalahin dan ngunggulin diri kita yang kemarin. Tiap orang punya kesulitan dan kemudahan yang beda-beda, jadi jangan pernah banding-bandingin pencapaian kita sama mereka selama kita udah berusaha. Good things take time.

Untuk artikel lengkapnya ada di sini.

Yaudah segitu aja, semoga tidak ada pihak yang tersinggung karna aku tidak sedang menyinggung siapapun. Barangkali kita bisa bertukar pikiran sambil diskusi dengan kepala dingin jadi silahkan banget kalo mau tinggalkan pendapatnya atau pencerahannya di kolom komen di bawah ini. Sekian dari saya wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Mohon maaf lahir dan batin, selamat menyambut Ramadhan.

Thursday, May 3, 2018


Pulang dari kedai sushi andalan, saya semakin menguatkan diri, bahwa dalam hidup akan selalu ada hal yang tidak bisa kita kendalikan sekuat apapun kita berusaha. Karena melalui itu Tuhan ingin kita meluaskan sabar.

Thursday, April 26, 2018

Take A Second to Think About How Blessed You Are


Lo pernah gak sih bosen gitu sama kerjaan lo, atau kayak ngerasa aduh empet banget gak udah2 gak abis2. Kayak gue sekarang nih, kayak capek banget gitu baca buku betumpuk2 gak udah2, gak usai2, iyasih cuma table of content-nya doang yang gue baca, tapi kadang ada buku yg ngeselin; judulnya demokrasi isinya multi subjek trus yang nulis orang dengan begron sosiologi atau komunikasi. Kan gua bingung gua taro di subjek mana. Belom lagi liat rujukan katalog sana sini beda2 ngasi klasifikasinya. Kadang sebel aja gitu kalo nemu yang gitu, dan banyaaaaak. Padahal sih sebenernya ya terserah gue mau gue taro di kelas mana yg penting temu kembali tercapai, cuman gue anaknya suka berkutat gitu jadi bisa satu buku gue pikirin banget, gak suka kalo ragu.

Jadi kadang nih ya, suka pingin gua buang2in aja tuh buku jelek nan multi subjek apalagi isinya udah ga relevan sama bahasa kita sekarang, saking tuanya itu buku ada yang kosa katanya macam surat cinta Soekarno pada zamannya. Tapi kalo udah gua buang di box khusus, suka sedih sendiri.. Rasanya kaya denger mereka nangis gitu. Elah. Ama buku aja gue baper. Akhirnya kadang yang udah gue buang gue pungut lagi, trus pelan2 gue baca lagi..

Anaknya perasaan banget.


Padahal udah solusi jitu banget buku ngeselin gitu tuh buang aja sumbangin ke rumah buku mana gitu, tapi terus mikir masa gue aja gamau nerima trus mereka nerima buku buangan, apa yang mau dibanggain dari rumah buku itu kalo literasinya ga bagus. Akhirnya jadi gak ada yang gue buang kecuali kalo udah kebanyakan eksemplar.

Nah kalo udah bosen empet lelah gitu gue suka mikir, tapi di luar sana banyak yang nganggur nunggu dipanggil kerja, berarti gue bosen empet lelah itu namanya gak bersyukur karena padahal ada yang kerjanya gerah harus kena matahari sementara gue di dalem ruangan ber-AC. Lalu gue jadi ngelist hal-hal yang bisa gue syukuri di tempat kerja,

√ bisa browsing gratis
√ bisa donlot drama korea
√ kalo pagi dibikinin teh anget sama Fajar
√ jam kerja fleksibel bisa keluar2 kalo ada perlu
√ bisa scaling gigi gratis
√ deket dari rumah, macet jahanam cuma di gundar doang
√ naik ojek masih affordable
√ mau main pulang kantor bisa (tapi temen yg ga bisa hhhh)

Dan masih banyak lagi yang bisa gue list. Satu hal yang bisa gue syukuri juga adalah kerjaan gue ini udah sesuai passion gue, meskipun gajinya ga idaman orang2 wkk. Tapi yagitu kan pilihannya, gaji gede tapi bukan passionnya, ya ada juga gaji melejit trus sesuai passion pula, nah kalo itu artinya lo harus lebih luas lagi syukurnya cuyyy. Karena ada banyak banget orang yang gak tau passionnya apa. Alhamdulillah gue tau mau gue apa. Yaudah balik lagi, kalo lo lagi ngerasa empet banget sama kerjaan lo atau lo malah ngerasa kerjaan lo gitu2 aja bosenin banget, sederhananya adalah lo tidak bersyukur. Mulai bersyukur beb, karena koentji utama hidup bahagia adalah bersyukur. Kalo emang lo ngerasa bisa keluar dari situasi itu silahkan cari jalan keluar sesuai dengan zona yang lo mau, ketimbang lo ngeluh.


Friday, January 26, 2018

Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (1)


Cemas adalah sistem alarm alami tubuh saat kita merasa terancam, di bawah tekanan, atau menghadapi situasi yang membuat stress dan tidak nyaman. Kecemasan bukan suatu hal yang buruk. Rasa cemas yang normal bisa membantu kita untuk tetap fokus dan waspada pada hal tertentu juga memotivasi kita untuk memecahkan masalah. Tapi kecemasan yang tidak normal akan membuat keadaan emosional seseorang menjadi tidak stabil. Kecemasan yang berlebihan akan mengganggu seseorang untuk menyelesaikan tugasnya dan bahkan membuat orang kehilangan kebahagiaan dalam hidupnya karena stress.

Gangguan kecemasan atau anxiety disorder adalah salah satu bentuk stres yang dialami baik secara fisik, emosional maupun sudut pandang mereka terhadap lingkungan sekitar. Orang dengan gangguan ini tidak mampu menghadapi situasi yang membuat stres dan tidak nyaman. Orang dengan gangguan ini umumnya tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi.

Saya, orang dengan gangguan itu.

Tiga tahun lalu saya sering banget ada keluhan sakit di beberapa bagian tubuh saya. Selama setahun saya sering ke rumah sakit untuk konsultasi dengan keluhan yang berbeda, dengan dokter spesialis yang berbeda pula. Nggak ada kesimpulan pasti saya sakit apa. Semuanya cuma ngecek, ngasih obat, keluhan hilang, tapi ya muncul lagi sakit di bagian tubuh lain. Ra uwis uwis.

Sampe akhirnya satu dokter spesialis syaraf pesan gini,

"Kamu cuma perlu perbaiki gaya hidup aja sih, olahraga."

Waktu itu keluhan saya ada di syaraf punggung. Gak bisa digerakin. Kaku. Muter badan ke kanan kiri gak bisa. Rasanya kayak jadi pohon, gak bisa gerak. Tiga hari dari dokter syaraf itu punggung saya kembali normal. Lalu saya rajin ikut yoga. Sebulan ikut yoga saya beneran ngerasa lebih bugar, segar dan tegar. Halah maksa. Ya pokoknya ngga ada keluhan badan sakit.

Nah tapi, sakit kepala yang hampir setiap minggu mampir ngga ikutan pergi kayak kejang syaraf punggung saya itu. Sampe suatu hari saya nggak kuat sama vertigo, karena intensitasnya mulai sering. Rasanya kayak mau mati. Pemandangan yang saya liat kayak mau niban saya. Kan serem. Belum lagi mual hebat yang dateng setelah pemandangan muter itu.

Ketemu lagi lah sama om dokter itu. Di sinilah dia bilang kalau keluhan sakit kepala saya itu dan mungkin keluhan-keluhan medis saya yang lain sebelumnya sebetulnya bukan penyakit, tapi respon dari tekanan pikiran alias stres. Waktu itu saya jawab,

"Tapi saya nggak ngerasa stress dok, biasa aja"
"Kadang pikiran sehat kita memang merasa begitu, tapi alam bawah sadar kita yang merasakan"
"Kalo dipikir-pikir pun kayaknya gak ada hal yang bikin stres"
"Nah, coba kamu sekali waktu konsultasi ke psikolog/psikiater, nanti beliau yang bisa membantu memetakan pikiran kamu. Ada nggak nih hal-hal yang micu stres"

Selang beberapa bulan, untuk pertama kalinya saya merujuk diri saya ke psikolog. Berangkat dari sebuah peristiwa yang menyadarkan saya kalo saya punya habit me-recall bad memories ketika saya sedih. Awalnya saya underestimate profesi psikolog/psikiater karena saya punya temen untuk diajak cerita, saya juga punya Tuhan. Saya selalu menolak ketika ada yang menyarankan konsul ke ahli kejiwaan. Sampai suatu hari Ibunya temen saya bilang,

"Memang bener kalo kita punya masalah larinya ke Tuhan, tapi psikolog/psikiater bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan yang bantu kita. Saya gak saranin kamu untuk curhat ke temen, karena manusia itu bisa ember. Bisa loh mereka ceritain yang kamu ceritain itu ke orang lain. Dan satu lagi, temen yang jadi temen cerita kamu itu pasti kan seumur sama kamu, jadi pengalaman hidup dia juga gak banyak"
"Nah makanya aku cerita ke tante"
"Tapi aku gak punya ilmunya. Boleh kamu cerita ke aku tapi kemampuanku terbatas, cuma sebatas ngasih saran, membesarkan hati, ngasi pandangan lain dari orang yang lebih dewasa. Aku merujuk kamu ke psikolog karena mereka punya ilmu yang bisa bantu kamu mengatasi bad habit atau masalah emosional pake dasar ilmu mereka. Aku gak saranin kamu ke psikiater karna mereka akan ngasih obat, jadi ke psikolog dulu aja. Psikolog akan bantu lebih ke self healing dulu"

Jadi kesimpulan dari konselor saya, keluhan-keluhan medis saya itu bisa dibilang karena tekanan stres. Dalam ilmu psikologi namanya psikosomatis. Gangguan cemas yang bisa memunculkan reaksi fisik. Mirip kayak orang umum yang grogi harus bicara depan umum trus sakit perut. Itu salah satu contoh sederhana psikosomatis. Kalau pada kasus saya udah agak berat. Karena selain mengganggu secara emosional, juga mengganggu kesehatan fisik.

Beberapa bulan pertama, saya semakin drop setelah beberapa kali konsul. Katanya, itu memang efek sampingnya karena kita didekatkan dengan luka-luka yang kita tutupi, luka yang kita paksa pikiran untuk mengabaikan tapi padahal perasaan kita belum bisa menerima luka itu. Setelah sentuhan cinta dari Tuhan yang membuat saya ingin berkerudung dulu adalah titik balik pertama, peristiwa ini adalah titik balik yang kedua dalam hidup saya.

Setelah konsul itu rasanya makin sakit, sakit secara mental, pertama karena didekatkan dengan luka, kedua karena saya jadi tau bahwa saya punya gangguan. Dobel sakitnya. Kecemasannya makin bertambah karena saya khawatir teman saya nggak paham kondisi saya itu, dan saya jadi sadar bahwa gangguan itu di kemudian hari akan jadi kesulitan buat saya menghadapi orang lain.

Dobel sakit tadi itu bikin saya jadi makin sensitif. Karena ketika dilukai orang lain saya jadi sadar saya terluka. Sebelumnya, sakit hati, perasaan bersalah, takut gagal, takut salah dan lain-lain yang memicu cemas gak sadar saya rasain. Semua itu dulu cuma dipaksa oleh pikiran saya untuk abai, tapi numpuk di alam bawah sadar sampe akhirnya ngebentuk pola dan sistem emosi yang salah; recall bad memories ketika sedih marah tidak puas atau terintimidasi.

Perlu sepanjang tahun bergelut dengan penerimaan bahwa saya orang dengan kondisi emosional seperti itu. Penolakan logika terhadap jiwa juga makin bikin diri saya drop. Gimana temen saya bisa nerima kalo bahkan logika saya aja menolak jiwa saya sendiri. Ada perasaan takut dikira lebay, terlalu baper nanggepin sikap dan kalimat orang.. Banyak spekulasi negatif yang muncul di pikiran saya ketika saya ingin coba sharing soal kondisi saya. Kemudian konselor saya meyakinkan saya,

"Teman yang baik akan nerima kamu. Kalo setelah dia tau kemudian muncul perilaku tidak menerima, justru lewat kondisi ini kamu jadi tau mana yang beneran temen kamu"

Padahal saya nggak ingin diterima, saya cuma ingin dimengerti. Percuma nerima kalo nggak ngerti.


Next post:
Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (2)

Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (3)



The bravest thing I ever did was continuing my life when I wanted to die..

Episode: Lupa pernah memahami
Sudah lama saya tidak mengalami episode pemicu kecemasan. Berbulan-bulan saya merasakan kehidupan pertemanan yang cukup aman dan membahagiakan. Sampai akhirnya saya diabaikan pada saat genting saya butuh didengar. Dari situasi itu saya jadi paham kalau kondisi saya ini, kesulitan saya ini ya emang cuma saya aja yang ngerasa sulit, yang ternyata adalah hal remeh banget bagi orang lain yang gak ngerasain. Padahal, waktu teman saya itu menyebut dirinya paham kondisi saya, saya hampir menggantungkan kestabilan emosi saya ke dia. Ternyata nggak gitu. Saya jadi belajar bahwa dalam panggung kehidupan, kita sendiri yang jadi peran utama. Pada akhirnya balik laginya ke diri sendiri dan cuma bisa mengandalkan diri sendiri.

Punya temen yang nerima soal gangguan saya ini sempat ngebuat saya ngerasa gak sendirian ngejalanin keanehan hidup. Sampai suatu hari teman saya itu merespon saya dengan,

"Ih lo kenapa sih cemas banget, harusnya jangan cemas.. Harusnya lo bisa ngesampingin itu. Pikirin hal positive dari yang bikin lo cemas itu blablablabla"

Harusnya jangan cemas????

Lah kan itu gangguan saya. Saya nggak bisa nggak cemas. Dan itu gangguan saya. Dulu udah pernah saya jelasin panjang lebar dan dia bilang paham dan nerima, tapi sekarang responnya gitu?? Hari itu rasanya kayak ada yang amblas di hati saya. Temen yang saya andalkan ternyata mengecewakan. Perasaan nggak sendirian itu lenyap. Ternyata saya emang sendirian. Ternyata dia ngga sepenuhnya paham kondisi saya. Kepercayaan dan beban yang sempat saya gantungkan pada temen saya itu jatoh berantakan. Ternyata saya ngga punya temen selain si kecemasan.

Dari situ saya baru paham jawaban dari pertanyaan ini,

"Ngapain sih lo ke psikolog? Kan lo punya temen. Cerita ke gue aja. Gratis."

Karena temen juga manusia. Ngga punya kewajiban untuk mengingat dia bener-bener pernah paham. Dia juga manusia yang bisa lupa sama masalah orang. Meskipun saya pernah menggantungkan kestabilan emosi ke dia karena harapan yang dia kasih, dia ngga bisa saya tuntut untuk memenuhi harapan itu. Karena dia manusia biasa. Bedanya dengan psikolog, psikolog bertanggungjawab atas harapan itu karena dia saya bayar. Jadi respon psikolog dari hal yang saya konsultasikan jelas beda sama temen yang ngasih harapan. Ya itulah bedanya yang gratis sama yang bayar. Itulah bedanya yang ahli sama sekedar pendengar.

Next post:

Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (4)

Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (4)

Dua orang teman yang menunjukkan dirinya menerima kondisi saya, telah cukup membuat saya melupakan keinginan untuk memutus siklus episode dengan bunuh diri. Karena,


Saya hanya akan membunuh perasaan "berarti" dalam diri teman saya kalau saya menghilangkan nyawa saya. Teman saya pasti merasa hidupnya berarti ketika saya mengungkapkan kebahagiaan bahwa diri saya diterima. Karena itu saya merasa punya tanggungjawab menjaga rasa berarti dalam hidupnya; dengan bertahan hidup untuk tidak mati. Saya juga jadi ingat ada pihak lain yang perlu saya masukkan dalam circle hidup saya; keluarga. Jadi, menghilangkan nyawa untuk memutus episode tidak membunuh luka, hanya akan memindahkan luka ke hati mereka; teman dan keluarga.

Hari ini, saya punya pelajaran baru, bahwa diterima tidak menjamin saya dimengerti oleh mereka. Kalimat "Gw nerima kondisi lo kok" hanyalah sebuah penghiburan yang ada masa berlakunya. Bisa kadaluarsa. Sebagai teman mungkin mereka nerima, tapi tidak berarti untuk mengerti. Menerima hanyalah pengakuan masih mau berteman. Bukan dijamin sebuah sikap yang mengerti kondisi saya. Karena penerimaan itu pada akhirnya akan berbenturan dengan sifat alamiah manusia yang juga punya perasaan; bisa kesal bisa marah bisa nggak suka.

Episode: Diterima tidak menjamin dimengerti
Berawal dari niat baik teman yang ingin mengenalkan saya pada teman laki-lakinya. Singkat cerita kami bertemu bertiga. Kebetulan saya ada obrolan yang bisa dimengerti kita bertiga. Tapi emang, selama ngobrol, mata saya hampir selalu lihatnya ke temen saya, bukan ke temen laki-laki yang dikenalkan ke saya. Kemudian selesai ngobrol kita bertiga sempet diem dan saya main hape.

"Jangan main hape dong, ngobrol" colek teman saya.

Kenapa harus negor saya yang main hape? Bukannya harusnya mikir gimana caranya supaya saya gak main hape yha. Harapan saya adalah dia yang membangun obrolan sebagai penengah, sebagai pihak yang ngenalin. Dulu, waktu saya ngenalin dia ke temen saya, saya yang bangun obrolan untuk bisa dimengerti mereka berdua. Saya merasa wajib melakukan itu karena saya pihak yang ngenalin. Lalu sampe rumah muncul perasaan dalam hati bahwa tegoran itu mengintimidasi saya. Lebay yha. Yagitulah gangguan saya.. :(

Belum release rasa diintimidasi oleh tegoran siang itu. Sorenya dia ngoreksi saya. Yha mungkin niatnya cuma mau nyampein aja,

"Kamu tadi sepanjang ngobrol cuma liat ke mata aku. Padahal obrolannya nyambung juga buat bertiga. Kenapa cuma liat mata aku"

Udah bagus saya punya obrolan yang bisa nyambung buat bertiga. Yang padahal harusnya tugas temen saya. Tapi ketika saya tanya hal itu responnya,

"Kenapa harus aku yang jadi penengah, ngobrol sendiri kan kalian udah dewasa"

HAH?? Saya sempet beku dengernya. Sebuah pernyataan yang dingin sekaligus aneh. Tiga kalimat itulah yang melukai hati saya. Gak tau yha kenapa. Perasaan yang muncul sih rasa diintimidasi. Sampe suatu hari dia sebut nama temen laki-lakinya itu dalam pertanyaan, saya jadi sensitif. Ada luka yang perih. Ada marah yang meradang. Ada rasa tidak nyaman yang menyeruak. Ada rasa tidak terima yang tidak terucap. Full of emotion pokonya.

Saya hanya berniat menunjukkan ketidaknyamanan saya;

"Aku gak suka pertanyaan kamu, kenapa gak (contoh pertanyaan) aku bisa jawab (contoh jawaban), kenapa gak (contoh pertanyaan 2) kalo gitu aku bisa jawab gini"

Saya pingin nunjukkin perasaan saya tapi bingung ngejabarinnya, makanya pake contoh pertanyaan yang menurut saya lebih nyaman buat saya. Tapi respon yang saya dapatkan,

"Kamu gak bisa expect semua sesuai mau/kesukaan kamu. Kalo kamu gasuka sama pertanyaan aku, yaudah itu urusan kamu. Gak mungkin aku ganti pertanyaan cuma supaya bikin kamu seneng."

Betul. Tidak ada yang salah dari kalimat temen saya. Tapi bagi saya yang telah melewatkan peristiwa sulitnya terbuka soal kondisi emosional saya, pergulatan batin berminggu-minggu dengan sakit mental yang luar biasa hingga akhirnya saya terbuka dan respon dia menerima saya, gong kalimat temen saya itu membuyarkan semua peristiwa-peristiwa berarti yang telah mengkristal dengan baik dalam hati saya. Respon itu kayak bukan temen yang pernah menyebut dirinya nerima kondisi saya.

Kalo kamu gasuka sama pertanyaan aku, yaudah itu urusan kamu.

Urusan kamu.

Alias urusan saya.

Ketidaknyamanan yang dulu pernah disepakati bersama untuk bisa saya ungkapkan langsung, sepertinya tidak berlaku (lagi). Atau sudah habis masa kadaluarsanya. Pelajaran baru bagi saya, bahwa menerima hanyalah pengakuan masih mau berteman. Bukan jaminan kondisi saya akan dimengerti. Karena menerima pada akhirnya akan berbenturan pada sifat alamiah manusia yang juga punya perasaan; kesal, marah, tidak suka.



Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (2)

Akhirnya saya mulai sharing soal kondisi saya ke salah satu temen saya. Responnya bagus. Bagi saya ya mengharukan, karena mematahkan spekulasi negatif saya. Setelah penerimaan ini saya jadi punya tong sampah untuk cerita. Dari sini kita jadi punya bonding yang berkualitas. Apalagi ada kalimat gini dari dia,

"Semua orang punya masalah, punya kekhawatiran, gak usah malu sama kondisi lo. Kalo lo marah sama gw, nanti marah aja jangan dipendem. Kesel sama gw mau mukul ya pukul gw aja. Karena gw paham kondisi lo. Gak usah ke psikolog lagi lah, ke gw aja kan gratis gak bayar"

Saya punya obat baru. Ya dia itu. Rasa diterima dari dia itu jadi hal yang luar biasa. Dobel sakit yang sebelumnya saya bilang sedikit berkurang. Beberapa bulan saya jadi lebih semangat ngejalanin hidup. Sampe akhirnya dia malah jadi pemicu kecemasan saya. Saya sakit hati, saya kesel yang penyebabnya sepele banget tapi rasa nggak terimanya luar biasa.



Hmmm kurang lebih begini,


Episode: Objek kecemasan itu temen saya sendiri
Teori dia yang bilang "kalo kesel atau marah bilang aja" gak bisa saya praktekin, karna emang sepele banget pemicunya. Mau bilang apa adanya saya ngga mampu. Ngerasa lebay. Jadinya ketahan sampe ganggu fungsi keseharian saya. Dia jadi orang yang saya hindari karena reaksi cemas saya selalu muncul dan mengganggu kalo ada hubungannya sama dia. Saya jadi benci banget sama dia, kalo ketemu jadi gemeteran, sesek napas kaya orang abis lari maraton berkilo-kilo, ada nyeri di dada (atau hati ya), pacu jantung jadi cepet gitu kayak orang salah obat atau kebanyakan kopi. Gitu deh pokonya saya gak nyaman sama dia. Dia jadi orang asing yang kalo inget rasanya mau marah-marah terus sampe nangis. Begitu sadar pemicunya karna masalah sepele, nangisnya jadi makin-makin karena ngerasa diri saya aneh.

Begitu saya konsultasikan ke konselor, katanya episode itu muncul karena saya tidak meluapkan emosi yang saya rasain. Katanya,

"Kalo dia emang udah nerima kondisi kamu, sampein aja semua yang mengganjal menurut kamu. Dengan menyampaikan emosi itu kamu jadi release. Jadi sebetulnya yang diperlukan oleh orang dengan gangguan kecemasan adalah media untuk release."

Bener. Setelah saya release episode itu habis. Gak ada lagi pacu jantung jadi lebih cepet kalo inget soal dia, gak ada lagi gemeter dan nyeri gak nyaman di dada. Dia temen pertama. Saya mulai sharing soal kondisi saya ke temen lagi. Respon yang mengharukan lagi. Hampir miriplah, intinya kalo ada yang ngeganjel karena sakit hati atau gak nyaman bilang aja.

"Due to your mental illness, aku nerima kok kalo kamu ngomong soal aku yang kamu gak nyaman"

Sebuah kalimat yang mengalirkan kesejukan di hati saya yang sebelumnya kemarau panjang sampe kering kerontang. Episode itu terulang. Sampe akhirnya saya ngerasa kalo siklus hidup saya akan gini-gini aja. Dan menjalani episode itu melelahkan banget. Saya kayak bukan saya. Nangis terus. Sakit hati banget dan lain-lain yang bikin hubungan pertemanan saya rasanya gak membahagiakan. Ya memang kalo saya release episode itu habis. Tapi kemudian bukan plong yang saya rasain. Saya malah takut episode itu terulang lagi dan jadi siklus yang muter terus. Capek. Sampe akhirnya muncul menyudahi siklus itu. Hal yang paling rasional menurut logika saya ya cuma bunuh diri. Rasional banget. Karena capek sama siklusnya, saya butuh kehidupan sosial tapi kalo dijalanin rasanya gak membahagiakan dan saya mikir kasian yang jadi temen saya kalo harus terus-terusan menghadapi orang kaya saya.


Apa yang membuat saya masih hidup satu-satunya adalah karena saya tau Tuhan saya tidak suka saya mati dengan cara itu. Alasan lainnya barangkali karena saya nggak tau harus bunuh diri pakai cara apa. Dan kayaknya karena dua alasan itu keinginan memutus siklus episode itu selalu tertunda.


Next post:
Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (3)