Kulirik jam di tangan kananku. Sudah mau jam1. Kadang kalau sudah diujung menit begini baru menyesal kenapa tidak datang lebih dulu. Tinggal beberapa menit lagi mungkin dosenku masuk kelas, tapi bahkan aku masih harus berjudi dengan keadaan; menembus hujan atau menunggunya reda. Aaaaak gak suka deh kalo dihadapkan sama situasi yang membingungkan begini.
Kalau nekat lari dibawah hujan nanti aku basah, belum tugasku yang semalaman kukerjain bisa ikutan basah. Usahaku semalaman kan jadi sia-sia. Tapi kalau cuma berdiri menatap air langit itu jatuh ke tanah sambil berharap mereka berhenti, mungkin entah sampai kapan. Bisa jadi aku terlambat masuk kelas dan ditolak dosen. Absen tidak dianggap, tugas yang kubuat sia-sia. Aaaaak aku geleng-geleng kepala membayangkannya.
Aku merogoh isi saku celanaku. Ada uang pecahan lima ribu dan sepuluh ribu. Apa aku ojek payung aja ya, tapi harus bayar berapa ya. Lima ribu boleh ngga sih? Apa sepuluh ribu? Tapi masa uangku nanti sisa lima ribu. Ah yaudahlah kebanyakan mikir malah buang-buang waktu. Nanti tanya ojek payungnya aja tarifnya berapa. Akhirnya kuputuskan melambaikan tanganku kepada anak laki-laki yang tengah membawa payung pelangi ukuran besar.
"Ke FIB ya Dek"
"Iya kak"
Kemudian ia menyerahkan payungnya padaku dan berjalan di belakangku. Iya. Dia hujan-hujanan. Aku terus berjalan menapaki jalan setapak diantara hutan UI. Duh rasanya resah kalau harus payungan sendiri begitu, sementara dia hujan-hujanan. Apa memang semua ojek payung begitu ya? Dibayar untuk hujan2an sementara pelanggannya melenggang nyaman di bawah payung. Karena aku ngga tahan menahan otakku yang terus bicara karena ngga tega lihat anak itu hujan-hujanan, akhirnya di depan kandang rusa aku menghentikan langkahku. Memayungi anak itu.
"Emang ojek payung harus hujan-hujanan gitu ya?"
"Gapapa kak, saya udah biasa. Seneng malah main hujan"
"Tapi nanti pilek jadinya"
"Gapapa kak beneran, udah kak jalan aja nanti telat kuliahnya"
"Payungan bareng aja ya, kan payungnya juga besar. Yuk nanti aku telat"
Akhirnya dia mau. Kita payungan bareng.
"Kamu kok ngga sekolah?"
"Udah pulang kak"
"Oh.. Kelas berapa?"
"Kelas lima kak"
"Nama kamu?"
"Tio kak"
"Kalau ngojek gini orangtua kamu tau nggak?"
"Tau kok kan ini payungnya Ibu"
"Tio rumahnya dimana?"
"Sebrang sawo kak, masuk jauh ke dalem Gg. Kober"
Di sebrang kami ada mahasiswi pakai ojek payung juga. Berjalan beriringan ke arah yang sama denganku. Bedanya, aku di depan PSJ sedang mereka di sebrangku; di depan kedai fotokopi penjara FISIP. Aku memandangi mereka. Anak laki-laki si ojek payung terlihat memeluk kotak plastik berisi laptop, beberapa buku dan tumpukan kertas di dalamnya. Ia berjalan di belakang mahasiswi yang payungan. Iya anak itu hujan-hujanan sambil membawakan barang si mahasiswi itu. Ya Tuhan, apa memang manusia sesombong itu ya?
Akhirnya aku sampai di lobby FIB.
"Tio aku sampe sini aja deh"
"Emang kuliahnya di gedung yang ini kak?" (Tio menunjuk gedung II FIB)
"Oh bukan, paling belakang gedungnya"
"Gak mau sampe depan gedungnya aja kak?"
"Gapapa, kan bisa lewat selasar. Atapnya nyambung kok. Oh iya berapa Tio?"
"Terserah kakak aja kak"
"Hah? Lah kok terserah?"
"Iya kan niatnya cuma bantuin"
"Oh gitu? Yaudah ini Tio"
Kuserahkan semua uang dari sakuku. Aku bingung harus kasih berapa. Lima ribu ngga tega. Mau nambahin tapi sisanya kan pecahan sepuluh ribu. Jadilah kukasih semua. Tio membuka lipatan uang dariku.
"Kak ini kebanyakan kak"
"Yah abis aku bingung, kamu bilang terserah"
"Tapi ngga sebanyak ini harusnya. Tio ambil yang ini aja kak" (Ia memegang lima ribuan dan menyerahkan sepuluh ribunya padaku)
"Ih gapapa, buat beli bakwan di sekolah besok"
"Makasih banyak ya kak. Semoga dibalas Allah. Ibu Tio bisa seneng kalo pulang main hujan malah bawa uang banyak gini"
Aku merinding dengarnya. Kuucapkan aamiin dalam hati sambil tersenyum pada Tio.
"Makasi ya Tio, jangan hujan-hujanan ya"
"Siap kak"
Hujan itu berkah. Bahkan dalam hadist pun disebutkan;
Maka jangan mengutuki hujan. Tentang itu aku sudah paham betul. Tapi aku baru benar-benar tau hujan itu jadi berkah ya karena ojek payung, dari hujan mereka mendulang rupiah. Semoga Tio dan ojek payung lainnya ga pilek karena harus hujan-hujanan.
Kalau nekat lari dibawah hujan nanti aku basah, belum tugasku yang semalaman kukerjain bisa ikutan basah. Usahaku semalaman kan jadi sia-sia. Tapi kalau cuma berdiri menatap air langit itu jatuh ke tanah sambil berharap mereka berhenti, mungkin entah sampai kapan. Bisa jadi aku terlambat masuk kelas dan ditolak dosen. Absen tidak dianggap, tugas yang kubuat sia-sia. Aaaaak aku geleng-geleng kepala membayangkannya.
Aku merogoh isi saku celanaku. Ada uang pecahan lima ribu dan sepuluh ribu. Apa aku ojek payung aja ya, tapi harus bayar berapa ya. Lima ribu boleh ngga sih? Apa sepuluh ribu? Tapi masa uangku nanti sisa lima ribu. Ah yaudahlah kebanyakan mikir malah buang-buang waktu. Nanti tanya ojek payungnya aja tarifnya berapa. Akhirnya kuputuskan melambaikan tanganku kepada anak laki-laki yang tengah membawa payung pelangi ukuran besar.
"Ke FIB ya Dek"
"Iya kak"
Kemudian ia menyerahkan payungnya padaku dan berjalan di belakangku. Iya. Dia hujan-hujanan. Aku terus berjalan menapaki jalan setapak diantara hutan UI. Duh rasanya resah kalau harus payungan sendiri begitu, sementara dia hujan-hujanan. Apa memang semua ojek payung begitu ya? Dibayar untuk hujan2an sementara pelanggannya melenggang nyaman di bawah payung. Karena aku ngga tahan menahan otakku yang terus bicara karena ngga tega lihat anak itu hujan-hujanan, akhirnya di depan kandang rusa aku menghentikan langkahku. Memayungi anak itu.
"Emang ojek payung harus hujan-hujanan gitu ya?"
"Gapapa kak, saya udah biasa. Seneng malah main hujan"
"Tapi nanti pilek jadinya"
"Gapapa kak beneran, udah kak jalan aja nanti telat kuliahnya"
"Payungan bareng aja ya, kan payungnya juga besar. Yuk nanti aku telat"
Akhirnya dia mau. Kita payungan bareng.
"Kamu kok ngga sekolah?"
"Udah pulang kak"
"Oh.. Kelas berapa?"
"Kelas lima kak"
"Nama kamu?"
"Tio kak"
"Kalau ngojek gini orangtua kamu tau nggak?"
"Tau kok kan ini payungnya Ibu"
"Tio rumahnya dimana?"
"Sebrang sawo kak, masuk jauh ke dalem Gg. Kober"
Di sebrang kami ada mahasiswi pakai ojek payung juga. Berjalan beriringan ke arah yang sama denganku. Bedanya, aku di depan PSJ sedang mereka di sebrangku; di depan kedai fotokopi penjara FISIP. Aku memandangi mereka. Anak laki-laki si ojek payung terlihat memeluk kotak plastik berisi laptop, beberapa buku dan tumpukan kertas di dalamnya. Ia berjalan di belakang mahasiswi yang payungan. Iya anak itu hujan-hujanan sambil membawakan barang si mahasiswi itu. Ya Tuhan, apa memang manusia sesombong itu ya?
Akhirnya aku sampai di lobby FIB.
"Tio aku sampe sini aja deh"
"Emang kuliahnya di gedung yang ini kak?" (Tio menunjuk gedung II FIB)
"Oh bukan, paling belakang gedungnya"
"Gak mau sampe depan gedungnya aja kak?"
"Gapapa, kan bisa lewat selasar. Atapnya nyambung kok. Oh iya berapa Tio?"
"Terserah kakak aja kak"
"Hah? Lah kok terserah?"
"Iya kan niatnya cuma bantuin"
"Oh gitu? Yaudah ini Tio"
Kuserahkan semua uang dari sakuku. Aku bingung harus kasih berapa. Lima ribu ngga tega. Mau nambahin tapi sisanya kan pecahan sepuluh ribu. Jadilah kukasih semua. Tio membuka lipatan uang dariku.
"Kak ini kebanyakan kak"
"Yah abis aku bingung, kamu bilang terserah"
"Tapi ngga sebanyak ini harusnya. Tio ambil yang ini aja kak" (Ia memegang lima ribuan dan menyerahkan sepuluh ribunya padaku)
"Ih gapapa, buat beli bakwan di sekolah besok"
"Makasih banyak ya kak. Semoga dibalas Allah. Ibu Tio bisa seneng kalo pulang main hujan malah bawa uang banyak gini"
Aku merinding dengarnya. Kuucapkan aamiin dalam hati sambil tersenyum pada Tio.
"Makasi ya Tio, jangan hujan-hujanan ya"
"Siap kak"
Hujan itu berkah. Bahkan dalam hadist pun disebutkan;
ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر
"Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun"
***
Kisah di dua ribu sepuluh ini saya ceritakan karena tiba-tiba
ingat Tio waktu tadi pulang lewat halte bikun di stasiun. Biasanya pulang naik
Gojek jadi ngga lewat stasiun, berhubung ojek online jam lima sore udah pada
mahal dan hujan pula, jadilah saya jalan kaki sambil payungan.