Tuesday, January 26, 2016

Ojek Payung


Kulirik jam di tangan kananku. Sudah mau jam1. Kadang kalau sudah diujung menit begini baru menyesal kenapa tidak datang lebih dulu. Tinggal beberapa menit lagi mungkin dosenku masuk kelas, tapi bahkan aku masih harus berjudi dengan keadaan; menembus hujan atau menunggunya reda. Aaaaak gak suka deh kalo dihadapkan sama situasi yang membingungkan begini.

Kalau nekat lari dibawah hujan nanti aku basah, belum tugasku yang semalaman kukerjain bisa ikutan basah. Usahaku semalaman kan jadi sia-sia. Tapi kalau cuma berdiri menatap air langit itu jatuh ke tanah sambil berharap mereka berhenti, mungkin entah sampai kapan. Bisa jadi aku terlambat masuk kelas dan ditolak dosen. Absen tidak dianggap, tugas yang kubuat sia-sia. Aaaaak aku geleng-geleng kepala membayangkannya.

Aku merogoh isi saku celanaku. Ada uang pecahan lima ribu dan sepuluh ribu. Apa aku ojek payung aja ya, tapi harus bayar berapa ya. Lima ribu boleh ngga sih? Apa sepuluh ribu? Tapi masa uangku nanti sisa lima ribu. Ah yaudahlah kebanyakan mikir malah buang-buang waktu. Nanti tanya ojek payungnya aja tarifnya berapa. Akhirnya kuputuskan melambaikan tanganku kepada anak laki-laki yang tengah membawa payung pelangi ukuran besar.

"Ke FIB ya Dek"
"Iya kak"

Kemudian ia menyerahkan payungnya padaku dan berjalan di belakangku. Iya. Dia hujan-hujanan. Aku terus berjalan menapaki jalan setapak diantara hutan UI. Duh rasanya resah kalau harus payungan sendiri begitu, sementara dia hujan-hujanan. Apa memang semua ojek payung begitu ya? Dibayar untuk hujan2an sementara pelanggannya melenggang nyaman di bawah payung. Karena aku ngga tahan menahan otakku yang terus bicara karena ngga tega lihat anak itu hujan-hujanan, akhirnya di depan kandang rusa aku menghentikan langkahku. Memayungi anak itu.

"Emang ojek payung harus hujan-hujanan gitu ya?"
"Gapapa kak, saya udah biasa. Seneng malah main hujan"
"Tapi nanti pilek jadinya"
"Gapapa kak beneran, udah kak jalan aja nanti telat kuliahnya"
"Payungan bareng aja ya, kan payungnya juga besar. Yuk nanti aku telat"

Akhirnya dia mau. Kita payungan bareng.

"Kamu kok ngga sekolah?"
"Udah pulang kak"
"Oh.. Kelas berapa?"
"Kelas lima kak"
"Nama kamu?"
"Tio kak"
"Kalau ngojek gini orangtua kamu tau nggak?"
"Tau kok kan ini payungnya Ibu"
"Tio rumahnya dimana?"
"Sebrang sawo kak, masuk jauh ke dalem Gg. Kober"

Di sebrang kami ada mahasiswi pakai ojek payung juga. Berjalan beriringan ke arah yang sama denganku. Bedanya, aku di depan PSJ sedang mereka di sebrangku; di depan kedai fotokopi penjara FISIP. Aku memandangi mereka. Anak laki-laki si ojek payung terlihat memeluk kotak plastik berisi laptop, beberapa buku dan tumpukan kertas di dalamnya. Ia berjalan di belakang mahasiswi yang payungan. Iya anak itu hujan-hujanan sambil membawakan barang si mahasiswi itu. Ya Tuhan, apa memang manusia sesombong itu ya?

Akhirnya aku sampai di lobby FIB.

"Tio aku sampe sini aja deh"
"Emang kuliahnya di gedung yang ini kak?" (Tio menunjuk gedung II FIB)
"Oh bukan, paling belakang gedungnya"
"Gak mau sampe depan gedungnya aja kak?"
"Gapapa, kan bisa lewat selasar. Atapnya nyambung kok. Oh iya berapa Tio?"
"Terserah kakak aja kak"
"Hah? Lah kok terserah?"
"Iya kan niatnya cuma bantuin"
"Oh gitu? Yaudah ini Tio"

Kuserahkan semua uang dari sakuku. Aku bingung harus kasih berapa. Lima ribu ngga tega. Mau nambahin tapi sisanya kan pecahan sepuluh ribu. Jadilah kukasih semua. Tio membuka lipatan uang dariku.

"Kak ini kebanyakan kak"
"Yah abis aku bingung, kamu bilang terserah"
"Tapi ngga sebanyak ini harusnya. Tio ambil yang ini aja kak" (Ia memegang lima ribuan dan menyerahkan sepuluh ribunya padaku)
"Ih gapapa, buat beli bakwan di sekolah besok"
"Makasih banyak ya kak. Semoga dibalas Allah. Ibu Tio bisa seneng kalo pulang main hujan malah bawa uang banyak gini"

Aku merinding dengarnya. Kuucapkan aamiin dalam hati sambil tersenyum pada Tio.

"Makasi ya Tio, jangan hujan-hujanan ya"
"Siap kak"

Hujan itu berkah. Bahkan dalam hadist pun disebutkan;
ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر

"Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun"

Maka jangan mengutuki hujan. Tentang itu aku sudah paham betul. Tapi aku baru benar-benar tau hujan itu jadi berkah ya karena ojek payung, dari hujan mereka mendulang rupiah. Semoga Tio dan ojek payung lainnya ga pilek karena harus hujan-hujanan.

***

Kisah di dua ribu sepuluh ini saya ceritakan karena tiba-tiba ingat Tio waktu tadi pulang lewat halte bikun di stasiun. Biasanya pulang naik Gojek jadi ngga lewat stasiun, berhubung ojek online jam lima sore udah pada mahal dan hujan pula, jadilah saya jalan kaki sambil payungan.


Friday, January 22, 2016

Pergilah


Sungguh. Ada sesak di dada menerima selembar kartu berisi tanggal pernikahanmu. Kutatap matamu lekat-lekat. Begitupun matamu padaku. Entah ada kalimat apa di sana aku tak ingin tahu. Yang kutahu, aku harus sekuat tenaga menahan panas di bola mataku. Jangan sampai bulir air itu menggenang, apalagi keluar dari kelopak mataku.

Jangan.

Jangan sampai.

Aku seharusnya mendukungmu. Mendukung kebahagiaanmu. Kebahagiaan yang kau pilih lebih dulu sebelum kembali bertemu aku.

Tidak ada yang terlambat menurut Tuhan. Aku denganmu memang tidak ada dalam takdirNya. Bukan karena kita terlambat mengakui perasaan.

Entah apa yang kau rasakan, kudengar jelas jantungmu berdegup kencang saat lengan besarmu menenggelamkan wajahku di dadamu. Kau memelukku. Sangat erat. Degupanmu itu, entah karena melihatku yang menahan sesak. Atau kau memang juga terasa sesak. Yang terakhir itu aku tak yakin, karena bahkan seluruh hatimu bukan untukku. Entahlah aku ada di sudut sebelah mana. Entahlah cerita denganku kau simpan di ruang yang mana. Untuk apa aku tahu. Tidak ada gunanya. Entah di ruang bahagia ataupun luka, tetap saja yang terasa di hatiku adalah goresan luka.

Bahkan di hatiku, rasa padamu sampai saat ini masih saja bias. Entah sekedar suka atau sudah terlanjur cinta. Yang pasti keduanya harus berakhir sama; kau dan aku tak bisa jadi kita.

Aku tak pernah paham atmosfir apa yang terasa tiapkali di dekatmu. Seperti sedang dipayungi saat awan tengah kelabu. Rasanya tenang. Karena bahkan bila hujan turun ada kau yang memayungiku.

Tapi gelegar petir menakutkanku. Angin kencang membuat hujan membasahiku. Lalu apa gunanya payungmu? Hanya ketenangan semu.

Pergilah. Pernikahan adalah seindah-indahnya akhir cerita. Kau sudah lebih dulu mengajak dia. Kau sudah lebih dulu menawarkan dongeng indah padanya. Dan itu adalah seromantis-romantisnya ungkapan cinta. Apapun yang pernah kau lakukan padaku, semanis apapun lakumu padaku tidak akan bisa mengalahkan keromantisan ajakan nikahmu padanya. Pergilah.