Tuesday, August 20, 2019

Kabar Buruk di Jumat Petang dari Pusat Pengetahuan yang Bernama Perpustakaan



Siang itu, setelah solat dzuhur yang sangat terlambat, aku menuju perpustakaan pusat (selanjutnya akan kusebut perpusat), karna tidak ada jamaah solat dzuhur, aku hampir selalu kelupaan solat dzuhur di hari Jumat.

Di depan parkiran motor Fasilkom, aku memastikan kembali catatan nomor panggil buku yang akan aku pinjam. Kuatir sampai perpusat, daring katalognya tidak bisa diakses sementara tidak kucatat nomor panggil dari buku yang ingin aku pinjam. Setelah kupastikan ada di catatan, aku melanjutkan langkahku di tengah teriknya matahari Depok. Terik sekali sampai layar ponselku tidak terlihat padahal tingkat terangnya sudah maksimal.

Sampai perpusat, aku langsung menuju rak dan buku yang kucari tidak ada. Kupastikan kembali dalam satu jajarannya mungkin terselip, hasilnya nihil. Padahal statusnya tersedia saat kulihat di katalog. Entahlah, mungkin setelah dikembalikan oleh peminjam sebelumnya buku itu belum dijajarkan kembali di rak oleh pustakawan.

Aku menuju rak selanjutnya, mencari Men without Women dari Haruki Murakami. Lagi-lagi tidak ada di jajaran rak semestinya. Kubuka katalog untuk memastikan ada, ternyata statusnya sedang dipinjam. Kembali berpindah ke rak buku lain, aku mencari Antara Ayah dan Anak dari Ivan Turgenev, penulis Rusia yang bahkan aku lupa apa yang membawa aku ingin membaca buku itu. Seperti buku sebelumnya, buku terjemahan dari Rusia inipun tidak ada di rak. Kucari buku yang sama dalam edisi bahasa Inggris, Fathers and Sons, juga tidak ada.

Entah kenapa semua buku yg ingin aku baca sedang dibaca orang. Padahal minggu lalu kulihat semua buku itu masih tersedia. Apakah dipinjam oleh satu orang? Apakah memang begitu cara kerja kehidupan, bahwa yang kita pikirkan/rencanakan tidak hanya terjadi dalam satu kepala manusia?

Menjadi pustakawan membuatku bisa cepat mengganti rencana bacaan. Dengan hafalan nomor panggil kelas buku yang sudah di luar kepalaku, aku berjalan ke rak-rak buku mencari buku lain yang bisa kubaca tanpa harus mencarinya di perangkat katalog yang disediakan perpusat.

Aku langsung ke rak sastra, mencari buku Pram atau Paulo Coelho yang belum kubaca. Dapat. Sebelas Menit dan Brida dari Paulo Coelho dan Cerita dari Digul dari Pram. Sejenak aku jongkok, menahan hasrat pipis yang tiba-tiba. Kutahan karna kamar mandinya di luar dari ruang koleksi, sementara tiga buku yang sudah kupegang tidak bisa kubawa keluar karna aku belum selesai menelusur.

Setelah berhasil kutahan, aku pindah ke rak lain mencari Aku ini Binatang Jalan dari Chairil Anwar. Ada. Kembali menuju rak lain barangkali ada buku Eka Kurniawan yang belum kubaca. Hanya ada buku Eka yang sudah kubaca, ada "O" tapi aku tidak tertarik membacanya. Aku menyusuri rak dimana buku Aan Mansyur berada, dapat satu yaitu Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi.

Lima buku yang kupeluk ini sama sekali di luar rencana. Tapi tetap kubawa ke meja sirkulasi demi menjaga waktuku agar tetap produktif. Belakangan, aku hanya hobi membeli buku tapi tidak selesai kubaca karna sadar buku itu milikku; bisa kubaca kapan saja. Dengan meminjam dari perpus yg mana ada jangka waktunya, aku menantang diriku untuk membaca dengan tenggat waktu itu.

Sampai meja sirkulasi, petugas menanyakan kartu mahasiswa, kubilang aku karyawan dan kuberikan tanda pengenalku. Aku ditolak. Katanya, ada kebijakan bahwa karyawan kontrak tidak ada akses untuk meminjam buku.

Baru kali itu rasanya sesak sekali hatiku sebagai karyawan kontrak. Aku tidak pernah masalah dengan statusku yang kontraknya pertahun ini, tapi tidak ada akses meminjam buku rasanya bikin sakit hati.

Kutanya pada petugas sirkulasi sejak kapan kebijakan itu diperbarui, katanya sudah ada dari lama. Lho padahal di tahun ini aku masih bisa pinjam buku. Petugas mencari informasiku di sistem dan mengiyakan aku sering meminjam buku. Lalu memintaku mengingat petugas yang mana yang membolehkan aku menjadi anggota dan meminjam buku. Tentu aku lupa, awal aku pinjam mungkin 2014. Sudah hampir lima tahun lalu.

Katanya, karna karyawan kontrak masa kerjanya bisa selesai sewaktu-waktu, jadi pihak perpusat tidak ingin ambil resiko kehilangan buku.

Kok rasanya bertentangan dgn logikaku, apakah status mahasiswa dan dosen bisa lolos dari kemungkinan kabur sewaktu-waktu? Bahkan yang mahasiswa/dosen aktif saja mungkin sekali menghilangkan buku apalagi mahasiswa yang mungkin tidak aktif karna lain hal (pindah ke luar kota/negeri mendadak dlm waktu lama misal karna urusan mendesak seperti pengobatan sakit)

Mungkin aja kan?

Resiko hilangnya buku menurutku tidak hanya bisa terjadi dari karyawan kontrak, tapi semua anggota yang diperbolehkan meminjam punya peluang yang sama. Sempat terucap dari petugas kalau karyawan kontrak hampir tidak ada yang suka pinjam buku, jadi mungkin sekalian dihapus aksesnya. Lho itu makin tidak masuk akal. Hampir tidak ada karyawan kontrak yang suka pinjam buku kan tidak sama dengan tidak ada karyawan kontrak yang suka pinjam buku.

Kata hampir tidak ada itu kan karna ada aku yang suka pinjam buku. Hampir tidak ada bukan berarti mutlak tidak ada.

Rasanya sedih bukan main menerima kenyataan ini, semenjak menyadari kalau rasa memiliki membuat rasa malasku membaca buku semakin naik, aku kerap pinjam buku di perpusat. Biasanya setelah buku yg kupinjam itu selesai kubaca, barulah kubeli di toko untuk bisa kumiliki.