Siang itu, setelah solat dzuhur yang
sangat terlambat, aku menuju perpustakaan pusat (selanjutnya akan kusebut
perpusat), karna tidak ada jamaah solat dzuhur, aku hampir selalu kelupaan
solat dzuhur di hari Jumat.
Di depan parkiran motor Fasilkom, aku
memastikan kembali catatan nomor panggil buku yang akan aku pinjam. Kuatir
sampai perpusat, daring katalognya tidak bisa diakses sementara tidak kucatat
nomor panggil dari buku yang ingin aku pinjam. Setelah kupastikan ada di
catatan, aku melanjutkan langkahku di tengah teriknya matahari Depok. Terik
sekali sampai layar ponselku tidak terlihat padahal tingkat terangnya sudah
maksimal.
Sampai perpusat, aku langsung menuju
rak dan buku yang kucari tidak ada. Kupastikan kembali dalam satu jajarannya
mungkin terselip, hasilnya nihil. Padahal statusnya tersedia saat kulihat di
katalog. Entahlah, mungkin setelah dikembalikan oleh peminjam sebelumnya buku
itu belum dijajarkan kembali di rak oleh pustakawan.
Aku menuju rak selanjutnya, mencari
Men without Women dari Haruki Murakami. Lagi-lagi tidak ada di jajaran rak
semestinya. Kubuka katalog untuk memastikan ada, ternyata statusnya sedang
dipinjam. Kembali berpindah ke rak buku lain, aku mencari Antara Ayah dan Anak
dari Ivan Turgenev, penulis Rusia yang bahkan aku lupa apa yang membawa aku
ingin membaca buku itu. Seperti buku sebelumnya, buku terjemahan dari Rusia
inipun tidak ada di rak. Kucari buku yang sama dalam edisi bahasa Inggris,
Fathers and Sons, juga tidak ada.
Entah kenapa semua buku yg ingin aku
baca sedang dibaca orang. Padahal minggu lalu kulihat semua buku itu masih
tersedia. Apakah dipinjam oleh satu orang? Apakah memang begitu cara kerja
kehidupan, bahwa yang kita pikirkan/rencanakan tidak hanya terjadi dalam satu
kepala manusia?
Menjadi pustakawan membuatku bisa
cepat mengganti rencana bacaan. Dengan hafalan nomor panggil kelas buku yang
sudah di luar kepalaku, aku berjalan ke rak-rak buku mencari buku lain yang
bisa kubaca tanpa harus mencarinya di perangkat katalog yang disediakan
perpusat.
Aku langsung ke rak sastra, mencari
buku Pram atau Paulo Coelho yang belum kubaca. Dapat. Sebelas Menit dan Brida
dari Paulo Coelho dan Cerita dari Digul dari Pram. Sejenak aku jongkok, menahan
hasrat pipis yang tiba-tiba. Kutahan karna kamar mandinya di luar dari ruang
koleksi, sementara tiga buku yang sudah kupegang tidak bisa kubawa keluar karna
aku belum selesai menelusur.
Setelah berhasil kutahan, aku pindah
ke rak lain mencari Aku ini Binatang Jalan dari Chairil Anwar. Ada. Kembali
menuju rak lain barangkali ada buku Eka Kurniawan yang belum kubaca. Hanya ada
buku Eka yang sudah kubaca, ada "O" tapi aku tidak tertarik
membacanya. Aku menyusuri rak dimana buku Aan Mansyur berada, dapat satu yaitu
Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi.
Lima buku yang kupeluk ini sama
sekali di luar rencana. Tapi tetap kubawa ke meja sirkulasi demi menjaga
waktuku agar tetap produktif. Belakangan, aku hanya hobi membeli buku tapi
tidak selesai kubaca karna sadar buku itu milikku; bisa kubaca kapan saja.
Dengan meminjam dari perpus yg mana ada jangka waktunya, aku menantang diriku
untuk membaca dengan tenggat waktu itu.
Sampai meja sirkulasi, petugas
menanyakan kartu mahasiswa, kubilang aku karyawan dan kuberikan tanda pengenalku.
Aku ditolak. Katanya, ada kebijakan bahwa karyawan kontrak tidak ada akses
untuk meminjam buku.
Baru kali itu rasanya sesak sekali
hatiku sebagai karyawan kontrak. Aku tidak pernah masalah dengan statusku yang
kontraknya pertahun ini, tapi tidak ada akses meminjam buku rasanya bikin sakit
hati.
Kutanya pada petugas sirkulasi sejak
kapan kebijakan itu diperbarui, katanya sudah ada dari lama. Lho padahal di
tahun ini aku masih bisa pinjam buku. Petugas mencari informasiku di sistem dan
mengiyakan aku sering meminjam buku. Lalu memintaku mengingat petugas yang mana
yang membolehkan aku menjadi anggota dan meminjam buku. Tentu aku lupa, awal
aku pinjam mungkin 2014. Sudah hampir lima tahun lalu.
Katanya, karna karyawan kontrak masa
kerjanya bisa selesai sewaktu-waktu, jadi pihak perpusat tidak ingin ambil
resiko kehilangan buku.
Kok rasanya bertentangan dgn
logikaku, apakah status mahasiswa dan dosen bisa lolos dari kemungkinan kabur
sewaktu-waktu? Bahkan yang mahasiswa/dosen aktif saja mungkin sekali
menghilangkan buku apalagi mahasiswa yang mungkin tidak aktif karna lain hal
(pindah ke luar kota/negeri mendadak dlm waktu lama misal karna urusan mendesak
seperti pengobatan sakit)
Mungkin aja kan?
Resiko hilangnya buku menurutku tidak
hanya bisa terjadi dari karyawan kontrak, tapi semua anggota yang diperbolehkan
meminjam punya peluang yang sama. Sempat terucap dari petugas kalau karyawan
kontrak hampir tidak ada yang suka pinjam buku, jadi mungkin sekalian dihapus
aksesnya. Lho itu makin tidak masuk akal. Hampir tidak ada karyawan kontrak
yang suka pinjam buku kan tidak sama dengan tidak ada karyawan kontrak yang
suka pinjam buku.
Kata hampir tidak ada itu kan karna
ada aku yang suka pinjam buku. Hampir tidak ada bukan berarti mutlak tidak ada.
Rasanya sedih bukan main menerima
kenyataan ini, semenjak menyadari kalau rasa memiliki membuat rasa malasku
membaca buku semakin naik, aku kerap pinjam buku di perpusat. Biasanya setelah
buku yg kupinjam itu selesai kubaca, barulah kubeli di toko untuk bisa
kumiliki.