Thursday, September 22, 2016

Episode 1


"Mba Elma?"
"Iya mas"
"Citos ya mbak?"
"Iya"

45 menit kemudian Elma sudah sampai di depan Citos. Elma berjalan ke arah kedai kopi tempat ia janjian bersama teman-teman kuliahnya dulu. Atas nama arisan. Ya. Biasalah, perempuan.

"Kenapa sih ngocok arisan doang jauh-jauh amat sampe sini. Yailah." gerutu Dian sambil menarik es cokelat milik Kemal.
"Duh cyin lo ga bosen emang Depok lagi Depok lagi?" balas Kemal dengan nada ngondeknya sambil merebut kembali es cokelatnya dalam genggaman Dian.
"Si Elma mana sih? Lama banget. Gue ga sabar mau megang duit nih."
"Lah emang yakin banget lo yang dapet Ran?"
"Gila tangan gue udah dua hari gatel banget" Rania menggaruk-garuk telapak tangannya di depan muka Dian.
"Duh panas banget jalanan" Elma menjatuhkan tubuhnya di sofa kosong sebelah sofa Kemal.
"Eh nek lo naek apaan kesini?"
"GoBike"
"Dari?"
"Kantor."
"Sabtu banget ngantor?"
"Yoi. Ada acara, biasalah ngejamu orang dari anak company."
"Lo udah tau panas malah naek GoBike bukannya naksi"
"Macet banget Pasar Minggu, asli."
"Ayo dong gue udah ga sabar dapet arisan" rengek Rania membubarkan obrolan Kemal dan Elma. Dian menyerahkan gelas berisi gulungan kertas kepada Elma.
"Nih El lo yang ngocok."

Elma membuka gulungan kertas. Matanya terbelalak melihat barisan huruf di gulungan kertas yang dibukanya. Rania.

"Gila hoki banget lu sumpah" Elma tertawa sambil melemparkan gulungan kertas yang ia buka ke meja. Rania dengan sigap mengambil kertas itu. Matanya berbinar bukan main.
"Mana mana mana dua juta gue" tagihnya kepada Kemal yang memegang uang arisan.
"Lo tahajudan ya semalem? Gila akurat bener." Kemal menyerahkan dua puluh lembar seratus ribuan kepada Rania. Uangnya rapih kaku dan licin seperti baru keluar dari mesin ATM.
"Eh bancik, emang lo gak tau kalo Tuhan itu sesuai dengan prasangka umatnya? Hahaha" Rania tertawa menang.


***



Sampai di rumah, Elma mengecek ponsel sambil leyeh-leyeh di kasur. Kebanyakan chat grup. Ada satu chat dari nomor tak dikenal.

Mba Elma, paperbagnya kebawa saya. Maaf banget saya lupa ngasih tadi pas turun. Ini bisa saya antar kemana mba?

Astaga. Gue juga lupa banget abis beli parfum. Elma segera membalas pesan driver GoBike itu.

Oh iya mas saya juga lupa. Masnya tinggal daerah mana? Saya ngantor di Tebet tinggal di Cibubur. Silahkan mas yang paling dekat aja mau antar kemana.

Rumah saya di Cijantung mba, saya antar ke Cibubur aja kalau gitu.

***

Pagi-pagi sekali driver GoBike yang kemarin mengantar Elma ke Citos sudah ada di depan halaman rumahnya.

"Mas maaf ya jadi bikin ribet."
"Gak apa mba, saya juga yang salah karena lupa. Mba mau ke kantor? Mau sekalian saya anter ngga?"
"Hah? Yah saya mau sarapan dulu mas"
"Oh gitu, gak sampe satu jam kan? Saya tunggu gapapa mba."
"Lah serius?"
"Iya."
Driver GoBike ini kemaren ngga nunjukkin mukanya karena pake masker. Kali ini maskernya diturunin. Cakep. Adem gitu ada kumis dan brewok tipis dengan hidung mbangir kesukaan Elma.
"Mba? Kok bengong? Iya serius mba saya. Gapapa sarapan aja saya tunggu."
Elma tersadar dari lamunannya dan hanya bisa menganggukkan kepala lalu masuk ke dalam rumah.


***

Sampe di kantor Elma bengong di meja kerjanya. Masih ngga percaya dia bisa ngobrol semengalir itu di perjalanan sama driver GoBike. Iya, tukang ojek.

Yogie Darutanu Dinedja. Adalah nama driver GoBike yang muncul pada aplikasi di layar ponselnya yang udah mau setengah jam dipandangi Elma. Baru seminggu resign dari kantor tempatnya bekerja, memilih menjadi ojek online untuk mengisi waktu senggang diantara jadwal meetingnya dengan klien. Yogie punya agensi sendiri diluar pekerjaannya dulu. Agensi yang didirikan bersama tiga orang teman kuliahnya. Layanan desain interior dan bangunan. Kliennya ga main-main. Hotel, mal dan apartemen mewah di ibukota. Sampai disitu Elma tau soal Yogie. Ia sampai lupa kenapa Yogie harus keluar dari kerjaannya. Yang padahal bisa berjalan beriringan dengan bisnis bersama temannya itu.

"Elma, ruang rapat sudah disiapkan?" bosnya membuyarkan lamunannya.
"Sudah pak."

Sebagai sekretaris direksi tertinggi di kantornya, semua urusan perintilan pertemuan direksi dengan aliansi menjadi tanggungjawab Elma. Ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk. Muncul nama Nata Wishaka di layar.

"Eh rapat di mana El pagi ini? Hape gue yang isi jadwal kerjaan ketinggalan."
"Di Gedung Kusuma, ruang rapat yang biasa kita pake Nat"
"Oke El thankyou."

Klik. Nata memutus sambungan telponnya. Elma menggeser kursi kerjanya ke arah telpon. Satu persatu Elma menelpon undangan rapat, as a reminder, karena setengah jam lagi rapat akan dimulai.

Elma bersama Rifa, sekretaris deputi infrastruktur, memasuki lift. Belum tertutup sempurna, pintu lift kembali terbuka. Nata masuk.

Nata adalah sahabat Elma dari jaman kuliah. Hanya saja, Nata memang jarang sekali ikut ngumpul. Jadi semenjak sekantor ini Elma intens melihat Nata. Bagaimana ia setiap hari berpakaian, bagaimana Nata mengajak bercanda di sela obrolannya.

Selama di lift semua diam. Tidak ada keinginan mengajak ngobrol basa-basi satu sama lain. Nata mengambil ponsel di saku tasnya, sementara sikunya dibuat sengaja mengarah ke wajah Elma. Siku Nata semakin mendekat ke wajah Elma hingga akhirnya menyentuh pipinya.

"Ah apaan sih Nata" gerutu Elma.
"Oh ada orang lagi di lift ini? Abis ga ada suaranya, kirain cuma ada gue sama Mba Rifa."
Elma memasang muka galak.
"Mba Rifa udah sarapan?" tanya Nata lembut sok menggoda.
"Udah Mas Nata." Rifa senyum-senyum menangkap sinyal Nata yang menggoda iseng.

Lift terbuka. Pagi ini Nata yang presentasi menanggapi isu rapat bulan lalu. Sebagai konsultan, arah kerja dan masukan dari Nata memang sangat ditunggu-tunggu sekali oleh para direksi, termasuk bos Elma, Pak Surya. Elma menyerahkan pointer kepada Nata untuk memudahkan presentasi. Rapat dimulai setelah lima menit berlalu dari jadwal. Hampir dua jam Nata membahas isu rapat bulan lalu. Sepanjang rapat Elma asik dengan pikirannya.

Kenapa sih Nata harus sekantor bareng sama gue. Kenapa sih Nata harus kenal sama temannya Pak Surya. Kenapa sih dia ngga ngantor di tempat lain aja. Kenapa sih..

Ya memang ngga ada yang salah sama Nata. Males aja kerja bareng sama orang yang dikenal lama.

"El lo udah lama kenal kan ya sama Nata?" Rifa membuka obrolan sesaat setelah mereka memasuki lift yang hanya berisi mereka berdua.
"Iya, kenapa emang?"
"Gapapa sih, gue liat lo cocok aja berdua."
"Cocok dari mananya Rif."
"Gak tau, gemes sendiri aja gue liat lo kalo lagi ngobrol ribut becanda. Unyu aja gitu."
"Sebelah mananya unyu sih Rif.."
"Kenapa sih El sewot banget kalo soal Nata."
"Ya dia pagi-pagi udah rese tadi."
"Yailah kan dia becanda kali El sama lo. Caper. Biasanya cowo kalo udah caper tuh artinya suka."
"Coy.. Dia mah emang caper sama siapa aja juga."

Pintu lift terbuka. Mereka sampai di lobby Gedung Kusuma. Ada Nata di hadapan mereka. Elma kaget bukan main, mendadak kikuk karena Rifa habis menggodanya soal Nata.

"Lah Mas Nata mau kemana?" tanya Rifa bingung.
"Tab gue ketinggalan di ruang rapat." jawab Nata sambil memasuki lift.
"Panjang umur El dia." Rifa mencubit lengan Elma.
"Bodo." jawab Elma sekenanya.

Sampai di ruangan Elma mengecek ponselnya yang sedang di charge. Ada chat masuk dari nomor tak dikenal.

Hai El ini Yogie, tgl 23 ada acara ngga?
Bulan ini? Belum ada sih. Kenapa?
Mau ngajak ke acara nikahan nih haha saya bingung pergi sama siapa. Asli baru kali ini saya bingung banget padahal single udah dari lama.
Ahahah kok curcol sih mas. Liat nanti ya mas, takut ada kerjaan mendadak.
Ok El.


Tanggal 23 masih lama, masih dua minggu lagi.

Wednesday, September 21, 2016

Sesak



Sebelum ada kamu
Hatiku banyak sekat
Banyak fokus ini itu
Banyak ingin kesini dulu atau kesana dulu
Banyak pikir tentang ini, tentang itu
Ingin makan ini, makan itu
Baca ini baca itu
Nonton ini nonton itu
Tugas ini tugas itu
Ketemu teman di sini dan di situ
Ingat obrolan bersama si ini dan si anu
Rindu teman kini juga teman jaman lalu

Semenjak ada kamu
Hatiku sudah tak ada lagi sekat
Penuh sesak, oleh kamu


Tuesday, September 13, 2016

Ruang Tunggu



Yang orang lain lihat, aku duduk di bangku
Di sudut kanan terdalam di dalam kedai kopi dengan sebuah buku

Yang orang lain lihat, aku di atas rumah kayu
Menikmati awan biru bersama riuh rindu

Yang orang lain lihat, aku diam terpaku
Tanpa kawan di dalam ruangan tak berlampu

Yang orang lain lihat, aku berlarian maju
Menggulung baju dikejar ombak berderu

Yang orang lain lihat, aku berjalan menggurutu
Kesana kemari tanpa tuju

Dan yang orang lain tahu, aku hanya tak sabar menunggu Sabtu
Menikmati santai tanpa diburu waktu

Yang tidak orang lain lihat
Dan yang tidak orang lain tahu
Aku sedang duduk di ruang tunggu
Menanti dengan sabar bagaimana tangan Tuhan bekerja
Melepas doaku di saat yang tepat satu persatu



Senin pagi, 12 September 2016
Dengan dada sesak penuh rindu dan rasa ingin tahu tentang dirimu. Hanya bisa diam tanpa laku karena lidah ini kelu dan diriku terlalu malu.