Wednesday, February 26, 2014

Everlasting


Saat kita sedang sendiri, kesepian, dalam masalah, membutuhkan teman, lantas teringat dengan seseorang, berharap banyak dia akan membantu, atau setidaknya mengusir sedikit gundah-gulana. Apakah itu disebut cinta? Tentu saja. Tetapi kalau demikian, bukankah cinta jadi tidak lebih dari seperangkat obat? Alat medis penyembuh? Selesai malasahnya, saat kita kembali semangat, sembuh, maka persis seperti botol-botol obat, seseorang itu bisa segera disingkirkan. Sementara, dong? Temporer? Juga tentu saja, kecuali kita selalu sakit berkepanjangan, dan mulai mengalami ketergantungan dengan seseorang tersebut. Jika demikian maka cinta jadi mirip nikotin, candu.

Saat kita ingin selalu bersamanya, selalu ingin didekatnya, selalu ingin melihat wajahnya, senyumnya, nyengirnya, bahkan gerakan tangan, gesture, bla-bl-bla. Ingin mendengar suaranya (meski suaranya fals), tawanya (walau tawanya cempreng); apakah itu disebut cinta? Tentu saja. Bagaimana mungkin bukan cinta? Tetapi kalau hanya demikian, maka bawakan saja imitasi seseorang itu ke rumah, taruh seperti koleksi patung, jika ingin mendengar tawanya, stel sedemikian rupa biar dia tertawa, ingin melihat dia bicara, stel agar dia bicara. Bukankah hari ini sudah banyak teknologi imitasi seperti ini? Apakah itu akan berlangsung sementara? Boleh jadi, karena persis seperti kolektor yang memiliki koleksi benda antik, seberapapun berharganya, cepat atau lambat rasa bosan akan tiba. Bisa sih disiasati dengan jarang-jarang melihat koleksi tersebut, jarang-jarang bertemu biar terus kangen dan rindu, aduh, kalau demikian, maka cinta jadi sesuatu yang kontradiktif, bukankah tadi dibilang ingin selalu bersamanya.

Saat kita terpesona melihatnya, kagum menatapnya, begitu hebat, keren, terlihat berbeda, cantik, gagah, dan bla-bla-bla. Apakah itu disebut cinta? Bisa jadi. Tapi jika demikian cinta tak lebih seperti pengidolaan, keterpesonaan. Jika demikian, solusinya mudah, pasang saja posternya besar-besar di kamar. Jika kangen, tatap sambil tersenyum. Taruh foto-fotonya di mana-mana. Selesai urusannya. Apakah ini sementara? Temporer? Tentu saja. Saat idola baru yang lebih keren tiba, saat sosok baru yang lebih hebat datang, maka idola lama akan tersingkirkan. Jika demikian, maka cinta tak ubahnya seperti lagu pop, cepat datang cepat pergi. Persis seperti anggota boyband di tahun 80-an, basi di tahun 90-an, dan anggota boyband di tahun 2012, dijamin basi banget di tahun 2030.

Saat kita tergila-gila, selalu ingat dengannya, tidak bisa tidur, tidak bisa makan, berpikir jangan-jangan kita kehilangan akal sehat, apakah itu disebut cinta? Tentu saja. Tapi jika demikian cinta, maka ia tak lebih dari simptom penyakit psikis? Sama persis seperti penjahat yang jadi buronan, juga tidak bisa tidur, susah makan, dan terkadang berpikir kenapa ia bisa kehilangan akal sehat menjadi penjahat. Sementara? Temporer? Tentu saja. Waktu selalu bisa mengubur seluruh kesedihan.

Hampir kebanyakan orang akan bilang: "Saya tidak pernah tahu kapan perasaan itu datang. Tiba-tiba sudah hadirlah ia di hati." Ada sih yg jelas-jelas mengaku kalau dia cinta pada pandangan pertama; sekali lihat, langsung berdentum hatinya. Tapi di luar itu, meskipun benar-benar pada pandangan pertama, kita kebanyakan tidak tahu kapan detik, menit, jam, atau harinya kapan semua mulai bersemi. Semua tiba-tiba sudah terasa something happen in my heart.

Terlepas dari tidak tahunya kita kapan perasaan itu muncul, kabar baiknya kita semua hampir bisa menjelaskan muasal kenapanya. Ada yg jatuh cinta karena seseorang itu perhatian, seseorang itu cantik, seseorang itu dewasa, rasa kagum, membutuhkan, senang bersamanya, nyambung, senasib, dan seterusnya, dan seterusnya. Dan di antara definisi kenapa tersebut, ada yang segera tahu persis kalau itu sungguh cinta, ada juga yang berkutat begitu lama memilah-milah, mencoba mencari penjelasan yg akan membuatnya nyaman dan yakin, ada juga yang dalam situasi terus-menerus justeru tdk tahu atau tidak menyadarinya kalau semua itu cinta.

Cinta sungguh memiliki begitu banyak pintu untuk datang. Kebanyakan dari "mata", mungkin 90%. Sisanya dari "telinga". Dari bacaan (membaca sesuatu darinya), dari kebersamaan, dari cerita orang lain. Dari mana saja. Lantas otak akan mengolahnya, mendefinisikannya menjadi: sayang, kagum, terpesona, dekat, cantik, ganteng, cerdas, baik, lucu, dan seterusnya. Kemudian hati akan menjadi pabrik terakhir yang menentukan: "ya" atau "tidak". Selesai? Tidak juga, masih ada ruang buat prinsip-prinsip, pemahaman hidup, pengalaman (diri sendiri atau belajar dari pengalaman orang lain) untuk menilai apakah akan menerima kesimpulan hati atau tidak.

Ini proses cinta kebanyakan. Tetapi orang-orang yang paham, maka pintu datangnya cinta bukan sekadar dari mata atau tampilan fisik saja. Proses mereka terbalik, mulai dari memiliki prinsip-prinsip, pemahaman-pemahaman yang baik, lantas hati dan otak akan mengolahnya, baru terakhir mata, telinga dan panca indera menjadi simbolisasi cinta tersebut.

Tetapi apapun pintu dan prosesnya, jika akhirnya semua fase itu terlewati masih ada satu hal penting lainnya yg menghadang. Yaitu kesementaraan. Temporer. Apakah cinta itu perasaan yang bersifat temporer? Kabar buruknya ya. Jangan berdebat soal ini. Sehebat apapun cinta kita, pasti takluk oleh waktu. Tapi kabar baiknya, meski ia bersifat sementara, kita selalu memiliki kesempatan untuk membuatnya ‘abadi’, everlasting. Bagaimana caranya? Dengan pemahaman-pemahaman yang baik. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi, ada nilai-nilai yang harus dihormati. Pasangan yang memiliki hal tersebut, mereka bisa menjadikan perasaan cinta utuh semuanya. Maka abadilah perasaan itu.

Terakhir, saat kita selalu termotivasi untuk terus berbuat baik hari demi hari, memberikan semangat positif, terus memperbaiki diri setiap kali mengingatnya, apakah itu juga disebut cinta? Yaps, inilah hakikat cinta. Saat perasaan itu menjadi energi kebaikan. Dan itu tidak berarti kita harus selalu menyampaikan kalimat itu. Orang-orang yang menyimpan perasaannya, menjaga kehormatan hatinya, dan menjadikan perasaan tersebut sebagai energi memperbaiki diri, maka cinta menjelma menjadi banyak kebaikan.

Apakah itu sementara? Memang sementara, nah, semangat untuk terus memperbaiki diri karena cinta tersebut akan menjadi jaminan keabadiannya. Percayalah, bagi orang-orang yang memiliki pemahaman yang baik, cinta selalu datang di saat yang tepat, momen yang tepat, dan orang yang tepat, semoga semua orang memiliki kesempatan merasakannya.

Poin catatan ini akan kacau balau jika kalian hanya mengambil yg kalian sukai, lantas jadi pembenaran apa yg sedang kalian lakukan. orang-orang yang pacaran jelas sekali tidak akan memahami konteks tulisan ini dengan baik.


Tulisan ini saya copy-paste dari fanpage Tere Liye;


Wednesday, February 19, 2014

Dad, happy birthday.. You'll always be my number one man!

"Kalau serius dalam doa dan usaha, bukan ngga mungkin Allah kasih lebih dari yang kita minta"
"Jangan khawatir sama rejeki, sudah ada yang ngatur. Tugas kita hanya berbaik sangka aja sama Allah; kalau memang buat kita ya pasti akan jadi milik kita"
"Kamu sudah besar, harus punya mental yang kuat. Jangan sedikit-sedikit nangis dan ngeluh begitu"
"Kita jauh, yang Bapak khawatirkan bukan kamu lapar, tapi meninggalkan solat"
Dan masih banyak lagi petuah-petuah sederhana yang dilontarkan Bapak saya dengan nada sederhana pula. Sebenarnya mungkin dari dulu sekali --sejak saya kecil-- beliau suka berpesan macam-macam, tapi saya baru benar-benar memaknainya setelah saya tumbuh dewasa.

Hari ini tepat beliau berusia ke empat puluh tujuh tahun, dan kalau saya ucapkan pasti begini jawaban beliau; "Bapak juga ngga tau sebenernya kapan, itukan cuma di KTP aja ditulis begitu. Orang jaman dulu mah ngga ada yang hafal lahirnya kapan persisnya." Saya tau, itu adalah jawaban kalau beliau sebenarnya malu saya ucapkan ucapan ulangtahun. Ah, begitulah bapak saya.

Kalau bisa, saya tidak ingin beliau bertambah tua, melihat banyak rambut putih di kepalanya saja saya rasanya gelisah sekali. Tidak apa saya yang menua, asal mereka masih ada bersama saya.

Hari ini bukan hanya hari ulangtahunnya, tapi juga hari bahagianya dimana beliau memulai lembaran hidupnya yang baru.
"Meskipun kita jauh, yang penting kita selalu komunikasi ya"
Begitu pesan beliau kepada saya melalui text message beberapa minggu laluSelamat ulang tahun ya Pak.. Sehat-sehat ya Pak, biar bisa jadi wali pas Efa nikah nanti. Barakallah umur dan hidup barunya. Maaf Efa ngga bisa ada di sana ikut ngerayain kebahagiaan Bapak, meskipun begitu Efa berdoa sama Allah semoga Bapak diberkahi hari barunya. Efa & Dede sayang Bapak :)


-meski kami tidak serumah, tapi saya bisa ikut merasakan kebahagiaan hari ayah. Karena saya masih punya ayah. Perempuan yang kerapkali menggerutu 'semua laki-laki sama, cuma bisa bikin sakit hati' mungkin ia tidak ingat kalau ada satu laki-laki yang tidak akan menyakiti kita, yang akan mengorbankan dirinya untuk kita.

Monday, February 17, 2014

Suratku




Dear kamu..

Surat ini aku tulis saat airmataku sudah mengering. Aku tak ingin menyusun kata saat nafas sesak karena bibir bergetar menahan airmata jatuh. Aku takut yang tersusun hanya kata penuh emosi yang menggambarkan luka. Aku hanya ingin saat membacanya kembali yang kurasa hanyalah perasaan penuh cinta, bukan lagi luka.

Sayangku..
Hanya kamu satu-satunya lelaki yang mampu membuat hatiku hancur seperti ini, tapi ini semua bukan salahmu. Siapa yang mau, memaksa bersama ketika tidak ada lagi cinta? Aku bisa merasakan menjadi kamu, meski kamu hanya sekedar tau bahwa betapa beratnya menjadi aku. Aku sungguh tak menyalahkanmu.

Sayangku..
Ini kehancuran hatiku yang kedua. Yang pertawa di awal 2009, ketika kamu mengakui bahwa kamu lebih merasa nyaman bermanja mesra dengan perempuan lain yang sering menemani kamu lewat sambungan telepon. Saat itu aku merasa turut berperan dalam kesalahan yang kamu lakukan. Mungkin karena aku yang terlalu membuat kamu tertekan sehingga kamu menemukan tempat lain yang membuat kamu lebih nyaman.

Sayangku..
Aku tak pernah melupakan bagaimana kamu menunggu tulang dari ayam goreng yang kumakan. Bagaimana kamu canggung dan malu karena wajahmu penuh bedak saat aku menjengukmu ketika kamu terkena cacar air. Bagaimana susunan katamu yang menunjukkan kamu takut kalau aku memberi respon yang buruk saat memberi kabar kamu divonis herpes oleh dokter. Bagaimana kamu sebal tiapkali aku meremas lipatan perutmu karena merasa aku ejek.

Sayangku..
Aku tak pernah merasa semua itu adalah hal yang seharusnya membuatmu malu. Aku menyenangi kesukaanmu yang senang makan tulang ayam milikku. Aku tidak merasa aneh melihat wajahmu yang menurutmu seperti monster saat sedang kena cacar air, "ngga kaya monster, emang cacar kan begitu" jawabku saat itu. Aku tidak gelisah dan terus menenangkanmu saat kamu melanjutkan kabar dari dokter tentang kulitmu, karena aku tau itu bukan herpes yang mengerikan dan bisa sembuh saat virusnya hilang. Dan aku tetap memelukmu gemas dan semakin erat dari jok belakang meski kamu berpikir aku mengejek lipatan perutmu.

Sayangku..
Rasanya ingin sekali berteriak bahwa tidak ada lagi kamu yang menanyakan kabarku, tapi kubungkam mulutku kuat-kuat. Tapi aku tak sekuat itu. Tangisku pecah ketika aku menyadarkan ingatanku bahwa kamu kini milik wanita lain. Aku menangis saat duduk di bangku tunggu peron jalur dua sambil menunggu kereta yang mengantarku ke stasiun yang kutuju. Aku memang cengeng, sudah besar masih menangis. Payahnya aku ini!

Sayangku..
Tapi Tuhan memberitahuku bahwa aku masih bisa merasa dekat denganmu; lewat doa dengan merapal namamu. Aku tau mungkin kamu merasa tidak nyaman dengan rasa yang masih aku simpan. Aku sendiri belum tau bagaimana menyudahi rasa ini, padahal aku tidak pernah dengan sengaja membuatnya semakin tumbuh. Aku justru mengabaikannya. Tapi entah, rasa itu tak pernah mau pergi.

Sayangku..
Aku mencintaimu dengan segala kekuranganku, dengan segala kelemahanku, tapi yang pasti cintaku tulus dan Tuhan tau itu. Karena hanya Dia yang tau persis tentang bagaimana segumpal rasa yang tidak pernah hilang dari hatiku.

-16 Februari 2014, 09:48 PM


Saturday, February 15, 2014

Thursday, February 13, 2014

Curhat vs Provokasi




Itulah kenapa saya jarang sekali curhat. Karena memang meskipun dari saya niatnya cuma curhat, ya namanya juga teman ya, pasti malah kesal sama laki-laki yang saya ceritakan itu. Jadi saya memang memilih untuk tidak menceritakan apapun, setidaknya kalau mau cerita akan saya pikirkan baik-baik dulu. Saya posisikan diri saya jadi mereka yang mendengarkan, sekiranya memunculkan reaksi yang membuat mereka jadi berkomentar sebal ya lebih baik saya pendam sendiri saja ceritanya. Daripada malah membuat orang yang --sejujurnya-- saya sayang justru malah dibenci oleh teman saya cuma karena denger curhatan saya, ya kan?
 

Saturday, February 8, 2014

Berlayar Mengarungi Kehidupan


Berlayar dengan kapal melewati air yang cenderung tenang memang membosankan. Orang pasti lebih senang memilih naik perahu arung jeram yang arusnya menantang dan menyenangkan. Sama halnya dengan menjalin hubungan, kadang berakhirnya hanya karena bosan. Banyak yang lebih menikmati hubungan singkat yang penuh tantangan, lalu menyudahi ketika tantangan itu habis. Tapi cobalah pikirkan, hubungan itu untuk sebuah kehidupan yang lama; seumur hidup. Tidak ada orang yang pergi mengarungi samudera dan melintasi benua untuk bertahan di laut selama bertahun-tahun hanya dengan perahu karet untuk arung jeram bukan?

Jadi, kamu ingin punya hubungan yang seperti apa? Yang penuh tantangan dan menyenangkan sesingkat bermain arung jeram, atau yang dilandasi mental mantap seperti pelayar yang ingin mengarungi samudera?

Merdeka di Puncak Papandayan 2665 MDPL




Sebenarnya postingan ini udah nongkrong di draft blog saya dari beberapa minggu setelah trip. Awalnya semangat cerita, tapi kok lama-lama bingung gitu. Baru sempet ngelanjutin lagi ya sekarang ini, itupun karena saya mengganti tampilan blog saya. Hehehe iya, mendadak semangat nulis lagi gitu pas liat blog saya jadi lebih manis. 

Oke. Here we go!
 
Ini adalah pengalaman pertama saya mendaki gunung. Gunung yang dituju adalah Gunung Papandayan di Garut. Kenapa Papandayan? Entahlah. Saya cuma diajak. Dari riset saya di internet sih, gunung ini medannya cocok sekali buat pendaki pemula seperti saya dan teman-teman saya. Tidak terlalu sulit dan cenderung landai jalur pendakiannya. Katanya begitu, tapi saya juga tidak tau pastinya. Mau ngapain sih disana? Pengennya sih ngibarin merah putih di puncaknya, karena trip kami ini dalam rangka mengisi kemerdekaan 17 Agustus 2013 kemarin.

Awalnya saya ragu untuk ikut trip ini. Ini trip kami yang berbeda, karena biasanya kami cuma ke pantai dan panas-panasan di laut. Kali ini ke gunung yang sudah pasti suhunya berbeda 180 derajat dari pantai. Ke pantai kan asyik, santai.. Cuma duduk di mobil sambil cemal cemil, sampai pantai main air foto sana sini. Nah kalau ke gunung? Langsung kebayang capek nanjaknya.. Yang membuat saya ragu untuk ikut trip ini adalah karena saya takut ngerepotin yang lain, takut saya ngeluh capek. Apalagi ini tripnya bukan cuma SodaraSodari aja, bareng Tablo juga orang lain yang 'jebe-jebe'. Kan malu kalo mau ngeluh-ngeluh gitu. Sebenernya sih ini bukan pertama kalinya trip bareng Tablo, ada juga holiday bareng mereka yang ceritanya udah saya tulis di sini. Cuma kan itu ke pantai, tripnya santai. Yang ini kan ke gunung. Bukan trip main-main. Harus serius --lebih serius dari Bu Ani waktu nanggepin komen follower instagramnya--. Serius perbekalannya, serius mentalnya. Pokonya serius deh. Karena mental dan perbekalan yang nanti saya bawa ke gunung itulah yang menentukan hidup saya nanti selama 3hari 2malam di sana.

Dua hari sebelum keberangkatan saya sibuk prepare ini itu, beli perlengkapan ini itu, dan pinjem sana sini. Menurut saya sih itu salah, karena pas hari keberangkatan, di bis kaki saya linu-linu karena kecapekan muterin hypermart Junction selama dua hari. Entah kuat apa ngga ini kaki dipake nanjak gunung, dalam hati pengen nangis karena sakit sekali, ditambah saya takut kalau-kalau tidak kuat nanjak.

Jumat 16 Agustus 2013, 20:00 WIB
Kumpul di Terminal Kampung Rambutan. Total saya dan temen-temen saya ada 21 orang. Entahlah itu siapa aja.. Yang saya kenal orang yang sama waktu trip sebelumnya. Sisanya mungkin temannya teman saya. Atau mungkin juga temannya temannya teman saya. Ya begitulah pokonya. Setelah semua dipastikan kumpul, kita mulai bergerak dari meeting point ke bis yang akan kami naiki.

Di Kampung Rambutan


Sabtu 17 Agustus 2013, 02:00 WIB
Kalo ngga salah ini kami sampai lebih awal dari jadwal. Kalau ngga salah ya.. Soalnya sempet gelesoran nyampah gitu di ruko yang tutup sambil nunggu dijemput sama angkutan yang akan bawa kami ke kaki gunung. Ada dua mobil bak terbuka yang sampai di pelataran ruko. Teman-teman saya dibantu supirnya mengangkat ransel dan carrier ke mobil, setelah barang bawaan terjajar rapih barulah kami naik ke bak terbuka. Ah saya sih senang-senang aja naik angkutan seperti ini karena toh rame-rame hehehe.

Gelesoran di ruko
 
Inilah yang akan ngebawa kami ke kaki gunung

Atur posisi pewe

Dan beginilah posisi kami di atas bak terbuka

Hoaah perjalanan ke kaki gunung sungguh menegangkan. Jalannya makin nanjak makin rusak. Sampe berkali-kali ngga kuat nanjak trus disuruh turun gitu sama supirnya biar kuat nanjak. Saya sih duduk di depan hehehe jadi ngga perlu ikutan turun, tapi lama-lama ngga enak sama yang turun tiapkali ga bisa nanjak, pas kejadian lagi ngga kuat nanjak saya akhirnya ikut turun dan jalan sedikit. Jalannya sih ngga masalah ya, dinginnya itu. Idung saya rasanya kaku. Lihat teman satu tim saya nempelin potongan salonpas di batang hidung, saya penasaran coba. Dan rasanya? Aaaah.. Rasanya yang tadi kaku jadi hangat agak melemas hahaha enaaaak.

Akhirnya kami sampai juga di kaki gunung, masih gelap dan kabut dimana-mana. Kira-kira jam lima subuh. Dingin banget ih. Semua bagian tubuh saya udah ketutup kecuali mata, tetep aja saya kedinginan. Ngga ngerti lagi sama teman saya yang cuma pake celana pendek di sana. Sambil nunggu mobil satunya sampai, saya dan ciwi-ciwi lain pesan mi rebus. Sebenernya kepengen banget bakwan panas yang dimakan orang-orang, tapi pas mau beli keabisan. Setelah semua sampai, kami berkumpul dan berdoa supaya lancar pas nanjak. Rasanya ngga sabar liat gunung yang udah di depan mata, ngga sabar berdiri di sana! (sambil nunjuk puncaknya).

Inilah kami di kaki gunung yang diinginnya minta ampun!

Sesaat sebelum pendakian. Masih penuh kabut.

Matahari sudah agak terang, kira-kira jam enam kami mulai menuju jalur pendakian. Aaaaah nanjak sambil nafas di tengah suhu sedingin ini rasanya ngilu gitu di paru-paru. Baru beberapa meter saya udah ngerasa capek hahaha tapi harus kuat. "Kuat kuat kuat!", pekik saya dalam hati.

Mulai nanjak...







Lama-lama berasa juga capeknya.. Yaudahlahya duduk dulu sebentar hehehe lumayan bisa minum seteguk dua teguk air. Sambil istirahat kami dimanjakan pemandangan yang subhanallah deh pokonya





Lanjut jalan lagi, jalur pendakiannya makin naik makin sempit. Makin lama makin menukik. Ada satu trek yang menurut saya MasyaAllah tanjakannya ga habis-habis. Semacam tangga, tapi dari anak tangga satu ke lainnya naiknya tinggi sekali. Sampai pengen pulang aja saya rasanya. Betulan deh itu bener-bener hampir sembilan puluh derajat kali ya. Udah bukan berdiri sambil naik tangga, tapi saya merangkak.. Iya merangkak sambil narik ranting disamping saya. Apapun itu yang bisa saya tarik, saya tarik biar memudahkan naik. Sebenernya agak ngerasa bersalah karena banyak rumput yang ketarik, cuman ya gimana daripada ngga bisa naik.

Karena ngga habis-habis, saya sempet merasa sedih campur pesimis gitu. Berhenti sebentar tapi orang di belakang saya mau ngga mau jadi ikutan berhenti karena saya menghalangi jalan. Jadi yaudah akhirnya saya kembali semangat, ngga enak sama orang di belakang saya karena carrier yang dia bawa aja bahkan lebih besar daripada badan saya. Tinggal dua anak tangga lagi, saya diam dan melihat nanar ke tanjakan itu. Dalam hati rasanya pengen teriak ngga sanggup. Ditambah lagi kedengeran gitu di atas teman-teman saya udah pada ketawa-ketiwi sambil istirahat. Karena motivasi pengen ikutan ketawa, saya harus bisa. Harus semangat! Tiba-tiba saya merasa tubuh dan ransel saya mendadak ringan. Terus orang di belakang saya bantu nyemangatin "Ayo semangat, dikit lagi", katanya. Ternyata ringannya badan dan ransel saya yang tiba-tiba itu adalah orang di belakang saya bantu ngedorong ransel saya hahahaha saya kira saya yang mendadak kuat. "Wahahaha baik banget, makasi ya mas tau aja kalo saya putus asa".

Dan.. Berakhir sudah tanjakan maut yang tak ada habisnya itu. Akhirnya bisa selonjoran dan ikutan ketawa hahaha rasanya kaya naik level gitu deh.

 
Dalam tim kami ini ada orangtua yang bawa anaknya yang masih anak-anak. Pokonya dari awal mereka itu jalannya di belakang saya, pas udah selesai dari tanjakan maut yang naiknya berasa mau meninggal tadi itu, mereka ngga kunjung muncul. Ternyata mereka muter, ke trek yang lebih landai karena khawatir keselamatan anak-anaknya. Haaaahhh tau gitu saya ikut mereka!! Kenapa ngga ngajak-ngajak saya sih Paaaak? Yaudahlahya udah kelar juga.

Pokonya dari info briefing di kaki gunung tadi, camp tempat kami nanti diriin tenda itu namanya Pondok Salada. Yayaya cocok sama hasil googling saya hehehe kemudian setiap saya merasa mulai ngga kuat, saya memutar gambar-gambar Pondok Salada (yang sempat saya lihat di Google) di pikiran saya. Biar semangat gitu maksudnya. 

Dari jauh saya lihat teman-teman saya duduk di rerumputan gitu. Pasti ini deh Pondok Salada, iya nih bener banyak rumput gitu di gambar yang saya lihat di Google. Saya agak berlari menghampiri mereka.

"Wah kita udah sampe ya? Ini Pondok Salada kan?" tanya saya dengan mata berbinar.
"Bukan.. Masih ke atas lagi. Bentar lagi kok"
"Hah? Bukan? Yaaah"

Aaah kecewa rasanya. Ternyata cuma sugesti diri yang bikin saya mirip-miripin tempat itu sama Pondok Salada.

Yah pokonya singkat cerita, akhirnya dari balik hutan saya dengar riuh suara keramaian orang. Itulah Pondok Salada. Sempet bingung gitu sih, kok suara ramenya udah kaya pasar. Pas udah liat.. Yatuhaaan rame banget, Tenda-tenda warna-warni udah berdiri rapat satu dengan lainnya. Bukan kaya di gunung, kaya di jambore aja ini sih. Rame banget abisnya.

Sebagai perempuan yang jalan-dikit-cape-berat-dikit-ngeluh, bisa sampe Pondok Salada ini aja saya udah merasa sangat sangat keren hahahaha :D

Pondok Salada

Di sini, sejauh mata memandang cuma ada tenda tenda tenda tenda tenda tenda tenda tenda tenda tenda tenda tenda dan pemandangan yang indahnya bukan main. Bukan main deh indahnya. Apalah saya dibanding semesta ini. Ngga ada apa-apalah pokonya.

Di dekat sumber air, spot mendirikan tenda udah penuh, jadilah tenda kami jauuuuh sekali agak dekat hutan. Ngga apa-apa soalnya deket Edelweis. Sampai Pondok Salada ini, kurang lebih jam satu atau jam dua siang. Saya lupa tepatnya jam berapa, pokonya yang saya ingat di sini panaaasssss. Makanya saya cuma ngumpet sambil rebahan di atas rumput sembari nunggu tenda berdiri. Pokonya di sinilah kami akan bermalam. Sejauh ini sih saya belum kepengen pipis. Berharap sih di rumah aja, tapi ya ngga mungkin juga karena kami pulang aja mungkin baru besok sore sampe di kaki gunung.

Menjelang sore suhu makin turun, intensitas pipis makin sering. Yaudahlahya pipis jamaah di hutan haha bodo amat deh ah. Bukan cuma pipis, intensitas sendawa juga makin sering. Entahlah itu pertanda kenyang atau masuk angin. Bersyukur aja sejauh ini saya ngga sakit, jadi ngga ngerepotin yang lain.

Mulai malam, api unggun mulai dinyalakan. Udah ngga perlu ditanya dinginnya kaya gimana, pokonya dingin! Udah berdiri menghadap api unggun aja tubuh bagian belakang saya tetep kedinginan. Iya, yang berasa hangat cuma yang menghadap api.

 
Makan malam.. Ini makan malam paling berkesan. Cara makan ala anak gunung. Makanannya diawurin di atas trashbag trus makannya rebutan hahaha yatuhaaan seru sih. Sempet dalem hati 'hah serius tuh makannya musti gitu?' Udah ngga peduli lah tapi, soalnya laper. Kalo kebanyakan mikir keburu abis pasti.

Inilah dinner kami

Sebelum tidur, kami di briefing oleh --siapa lagi kalo bukan-- Sidig. Jadi besok plannya jam empat subuh naik ke puncak buat ngibarin merah putih sekalian liat sunrise. Juga akan ke hutan mati. Nah itu tuh yang saya liat di blog orang pas saya googling. Itulah spot yang bikin saya excited ikutan naik gunung ini. Iya, hutan mati.

Sudah di dalam tenda, sudah pula tubuh ini dibungkus sleeping bag tapiiiiii tetep dingin. Dinginnya bikin ngga bisa tidur, padahal ngantuk banget sebenernya. Seandainya turun gunung ini cuma butuh sepuluh menit mungkin saya pilih turun dan pulang. Ngga kuat, dinginnya bikin emosi. Okelah, saya pikir dengan makan mungkin akan menghilangkan rasa dingin. Tapi apa daya, roti tawar yang saya bawa aja keras. Iya, beku. Haaaahhh gimana dah ini. Yaudahlah maksain aja dikunyah meskipun keras. Air minum di botol saya aja udah kaya keluar dari kulkas hahaha lucu sebenernya takjub sendiri gitu karena dinginnya sampe segininya. Satu tenda cuma pada ngedumelin dingin, lucu sih cewe-cewe ini (termasuk saya) haha.

Merem-merem ayam, tengah malem teman saya kebelet pup. Aduuuh mau pura-pura budeg rasanya ngga tega juga. Saya kan jadi ngebayangin kalo saya yang kebelet gimana. Yaudah saya akhirnya menawarkan diri menemani dia ke hutan, di tengah malam yang dinginnya ngajak tawuran. Saya pergi ke tenda laki-laki karena ngga mungkin saya cuma berdua pergi ke hutan. Akhirnya kami ke hutan, ke toilet pilihan kami (hahaha karna terserah mau nongkrong dimana asal ngga di jalan). Saya jadi ikutan nongkrong ngga jauh dari teman saya yang pup, maksain pipis daripada nanti pengen pipis ngga ada barengan. Sudah itu kami kembali ke tenda, kembali menyambung tidur yang susah dimulai.

Sayup-sayup saya denger suara ramai ngobrol di luar tenda. Ternyata mereka betulan ontime loh mau nanjak. Betulan subuh udah siap. Saya yang nongolin muka aja udah menggigil rasanya males banget ikutan keluar tenda. Udahlah merem lagi aja, teman setenda saya pun ngga ada yang beranjak haha padahal saya yakin mereka ngga benar-benar tidur.

Jam enam mereka bahkan masih rame di luar. Ternyata tadi subuh Sidignya masih tidur, mau bangunin ngga ada yang berani. Hahaha lucu banget sih sama temen sendiri takut. Jadi, Sidig kesiangan karena semalem nemenin teman saya pup hahaha semua rencanapun kacau. Saya berharapnya sih nanjaknya agak siangan aja, dingin banget soalnya. Tapi mereka tetap nanjak tuh, dan saya bimbang ikut apa ngga. Pengen bangetlah ikut, pengen liat hutan mati yang fenomenal itu, cumaaaaa dingin~~~ Yaudah saya coba ganti baju dan pakai sepatu, buka tenda daaaaan dingiiiiin. Akhirnya saya nutup tenda lagi dan masuk ke sleeping bag lagi. Ngga kuat dinginnya nusuk banget.

Yaudahlah karena saya takut kenapa-napa karena dingin, nanti di jalan malah ngerepotin yang lain, jadinya saya jaga benteng aja hehe alias nunggu di tenda. Sempet mikir nyesel gitu sih, padahal kan pengen banget ikutan megang merah putih biar kaya anak-anak gunung gitu hahaha. Trus pengen banget liat hutan mati pake mata sendiri. Pengen liat padang Edelweis juga. Tapi yasudahlah.. Diwakilkan mereka aja.

Ini loh hutan mati..


 

 
    
Ini padang Edelweis.. 




Dan inilah puncaknya. Hmmmmmmm iri.


Di camp kami ini, saya berasa di negeri awan. Sore kemarin dan paginya tenda dikelilingi kabut. Saya norak gitu deh hehehe kaya liat awan cuma sejengkal. Entah gimana noraknya kalo ikut ke puncak trus bener-bener di atas awan..


Menjelang siang kami siap-siap untuk turun gunung dan pulang. Tenda mulai dirapihkan. Sampah dikumpulkan di dalam trashbag yang kami bawa. Berdoa dulu sebelum pulang, semoga selamat di jalan..



Sayang lingkungan, sampahnya ikut di bawa turun

Mari turun gunung..


Foto bersama dulu sebelum turun gunung










Sempet ada kecelakaan kecil. Kan medannya pasir, jadi agak licin karena treknya menurun. Teman saya kepeleset dan keseleo pergelangan kakinya. Yah kalo kata banyak orang tua bilang, selalu ada hikmah di setiap musibah. Hikmahnya jadi bisa santaaaaaaaai banget jalannya. Kalo temen saya yang sakit itu capek kan jadi ikutan istirahat hehehe saya seneng jadinya.




Akhirnya sampai juga di kaki gunung. Yeay! Sayang, jadwal pulang molor dari seharusnya karena angkotnya pecah ban. Yaudah sambil nunggu si supir angkot cari bala bantuan, kami jajan di warung dan saya nemu jajanan fenomenal jaman SD, uh wooow!

Jajanan favorit saya jaman SD



Karena berbarengan arus balik mudik, jadi kami kehabisan bis dan macet-macetan di tol, kira-kira lepas magrib kami baru naik bis Garut-Jakarta dan sampai Kampung Rambutan dini hari. Yasudahlah yang penting semua selamat sampai di rumah masing-masing. Ohya trip naik gunung ini bikin saya ketagihan hehehe abis pemandangannya bagus banget sih. Paling ya dingin bangetnya itu yang ngga nahan. Emang salah saya sih, saya kurang perbekalan (cuma bawa jaket satu dan celana satu). Okay, see you on next trip :)

Sumber gambar: kameranya Gobel dan Adit


p.s : sebenernya saya agak mengalami pergolakan batin mau rilis foto-fotonya, karena pas trip ini kan saya belum pakai jilbab. Ngga apalah saya pikir, baju yang saya pakai pun nutup aurat plus pakai topi pula. Paling rambut saya yang kadang keliatan ya. Allah maha mengerti kok, yang penting bukan rilis foto dengan baju seksi hehehe