Friday, January 26, 2018

Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (1)


Cemas adalah sistem alarm alami tubuh saat kita merasa terancam, di bawah tekanan, atau menghadapi situasi yang membuat stress dan tidak nyaman. Kecemasan bukan suatu hal yang buruk. Rasa cemas yang normal bisa membantu kita untuk tetap fokus dan waspada pada hal tertentu juga memotivasi kita untuk memecahkan masalah. Tapi kecemasan yang tidak normal akan membuat keadaan emosional seseorang menjadi tidak stabil. Kecemasan yang berlebihan akan mengganggu seseorang untuk menyelesaikan tugasnya dan bahkan membuat orang kehilangan kebahagiaan dalam hidupnya karena stress.

Gangguan kecemasan atau anxiety disorder adalah salah satu bentuk stres yang dialami baik secara fisik, emosional maupun sudut pandang mereka terhadap lingkungan sekitar. Orang dengan gangguan ini tidak mampu menghadapi situasi yang membuat stres dan tidak nyaman. Orang dengan gangguan ini umumnya tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi.

Saya, orang dengan gangguan itu.

Tiga tahun lalu saya sering banget ada keluhan sakit di beberapa bagian tubuh saya. Selama setahun saya sering ke rumah sakit untuk konsultasi dengan keluhan yang berbeda, dengan dokter spesialis yang berbeda pula. Nggak ada kesimpulan pasti saya sakit apa. Semuanya cuma ngecek, ngasih obat, keluhan hilang, tapi ya muncul lagi sakit di bagian tubuh lain. Ra uwis uwis.

Sampe akhirnya satu dokter spesialis syaraf pesan gini,

"Kamu cuma perlu perbaiki gaya hidup aja sih, olahraga."

Waktu itu keluhan saya ada di syaraf punggung. Gak bisa digerakin. Kaku. Muter badan ke kanan kiri gak bisa. Rasanya kayak jadi pohon, gak bisa gerak. Tiga hari dari dokter syaraf itu punggung saya kembali normal. Lalu saya rajin ikut yoga. Sebulan ikut yoga saya beneran ngerasa lebih bugar, segar dan tegar. Halah maksa. Ya pokoknya ngga ada keluhan badan sakit.

Nah tapi, sakit kepala yang hampir setiap minggu mampir ngga ikutan pergi kayak kejang syaraf punggung saya itu. Sampe suatu hari saya nggak kuat sama vertigo, karena intensitasnya mulai sering. Rasanya kayak mau mati. Pemandangan yang saya liat kayak mau niban saya. Kan serem. Belum lagi mual hebat yang dateng setelah pemandangan muter itu.

Ketemu lagi lah sama om dokter itu. Di sinilah dia bilang kalau keluhan sakit kepala saya itu dan mungkin keluhan-keluhan medis saya yang lain sebelumnya sebetulnya bukan penyakit, tapi respon dari tekanan pikiran alias stres. Waktu itu saya jawab,

"Tapi saya nggak ngerasa stress dok, biasa aja"
"Kadang pikiran sehat kita memang merasa begitu, tapi alam bawah sadar kita yang merasakan"
"Kalo dipikir-pikir pun kayaknya gak ada hal yang bikin stres"
"Nah, coba kamu sekali waktu konsultasi ke psikolog/psikiater, nanti beliau yang bisa membantu memetakan pikiran kamu. Ada nggak nih hal-hal yang micu stres"

Selang beberapa bulan, untuk pertama kalinya saya merujuk diri saya ke psikolog. Berangkat dari sebuah peristiwa yang menyadarkan saya kalo saya punya habit me-recall bad memories ketika saya sedih. Awalnya saya underestimate profesi psikolog/psikiater karena saya punya temen untuk diajak cerita, saya juga punya Tuhan. Saya selalu menolak ketika ada yang menyarankan konsul ke ahli kejiwaan. Sampai suatu hari Ibunya temen saya bilang,

"Memang bener kalo kita punya masalah larinya ke Tuhan, tapi psikolog/psikiater bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan yang bantu kita. Saya gak saranin kamu untuk curhat ke temen, karena manusia itu bisa ember. Bisa loh mereka ceritain yang kamu ceritain itu ke orang lain. Dan satu lagi, temen yang jadi temen cerita kamu itu pasti kan seumur sama kamu, jadi pengalaman hidup dia juga gak banyak"
"Nah makanya aku cerita ke tante"
"Tapi aku gak punya ilmunya. Boleh kamu cerita ke aku tapi kemampuanku terbatas, cuma sebatas ngasih saran, membesarkan hati, ngasi pandangan lain dari orang yang lebih dewasa. Aku merujuk kamu ke psikolog karena mereka punya ilmu yang bisa bantu kamu mengatasi bad habit atau masalah emosional pake dasar ilmu mereka. Aku gak saranin kamu ke psikiater karna mereka akan ngasih obat, jadi ke psikolog dulu aja. Psikolog akan bantu lebih ke self healing dulu"

Jadi kesimpulan dari konselor saya, keluhan-keluhan medis saya itu bisa dibilang karena tekanan stres. Dalam ilmu psikologi namanya psikosomatis. Gangguan cemas yang bisa memunculkan reaksi fisik. Mirip kayak orang umum yang grogi harus bicara depan umum trus sakit perut. Itu salah satu contoh sederhana psikosomatis. Kalau pada kasus saya udah agak berat. Karena selain mengganggu secara emosional, juga mengganggu kesehatan fisik.

Beberapa bulan pertama, saya semakin drop setelah beberapa kali konsul. Katanya, itu memang efek sampingnya karena kita didekatkan dengan luka-luka yang kita tutupi, luka yang kita paksa pikiran untuk mengabaikan tapi padahal perasaan kita belum bisa menerima luka itu. Setelah sentuhan cinta dari Tuhan yang membuat saya ingin berkerudung dulu adalah titik balik pertama, peristiwa ini adalah titik balik yang kedua dalam hidup saya.

Setelah konsul itu rasanya makin sakit, sakit secara mental, pertama karena didekatkan dengan luka, kedua karena saya jadi tau bahwa saya punya gangguan. Dobel sakitnya. Kecemasannya makin bertambah karena saya khawatir teman saya nggak paham kondisi saya itu, dan saya jadi sadar bahwa gangguan itu di kemudian hari akan jadi kesulitan buat saya menghadapi orang lain.

Dobel sakit tadi itu bikin saya jadi makin sensitif. Karena ketika dilukai orang lain saya jadi sadar saya terluka. Sebelumnya, sakit hati, perasaan bersalah, takut gagal, takut salah dan lain-lain yang memicu cemas gak sadar saya rasain. Semua itu dulu cuma dipaksa oleh pikiran saya untuk abai, tapi numpuk di alam bawah sadar sampe akhirnya ngebentuk pola dan sistem emosi yang salah; recall bad memories ketika sedih marah tidak puas atau terintimidasi.

Perlu sepanjang tahun bergelut dengan penerimaan bahwa saya orang dengan kondisi emosional seperti itu. Penolakan logika terhadap jiwa juga makin bikin diri saya drop. Gimana temen saya bisa nerima kalo bahkan logika saya aja menolak jiwa saya sendiri. Ada perasaan takut dikira lebay, terlalu baper nanggepin sikap dan kalimat orang.. Banyak spekulasi negatif yang muncul di pikiran saya ketika saya ingin coba sharing soal kondisi saya. Kemudian konselor saya meyakinkan saya,

"Teman yang baik akan nerima kamu. Kalo setelah dia tau kemudian muncul perilaku tidak menerima, justru lewat kondisi ini kamu jadi tau mana yang beneran temen kamu"

Padahal saya nggak ingin diterima, saya cuma ingin dimengerti. Percuma nerima kalo nggak ngerti.


Next post:
Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (2)

Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (3)



The bravest thing I ever did was continuing my life when I wanted to die..

Episode: Lupa pernah memahami
Sudah lama saya tidak mengalami episode pemicu kecemasan. Berbulan-bulan saya merasakan kehidupan pertemanan yang cukup aman dan membahagiakan. Sampai akhirnya saya diabaikan pada saat genting saya butuh didengar. Dari situasi itu saya jadi paham kalau kondisi saya ini, kesulitan saya ini ya emang cuma saya aja yang ngerasa sulit, yang ternyata adalah hal remeh banget bagi orang lain yang gak ngerasain. Padahal, waktu teman saya itu menyebut dirinya paham kondisi saya, saya hampir menggantungkan kestabilan emosi saya ke dia. Ternyata nggak gitu. Saya jadi belajar bahwa dalam panggung kehidupan, kita sendiri yang jadi peran utama. Pada akhirnya balik laginya ke diri sendiri dan cuma bisa mengandalkan diri sendiri.

Punya temen yang nerima soal gangguan saya ini sempat ngebuat saya ngerasa gak sendirian ngejalanin keanehan hidup. Sampai suatu hari teman saya itu merespon saya dengan,

"Ih lo kenapa sih cemas banget, harusnya jangan cemas.. Harusnya lo bisa ngesampingin itu. Pikirin hal positive dari yang bikin lo cemas itu blablablabla"

Harusnya jangan cemas????

Lah kan itu gangguan saya. Saya nggak bisa nggak cemas. Dan itu gangguan saya. Dulu udah pernah saya jelasin panjang lebar dan dia bilang paham dan nerima, tapi sekarang responnya gitu?? Hari itu rasanya kayak ada yang amblas di hati saya. Temen yang saya andalkan ternyata mengecewakan. Perasaan nggak sendirian itu lenyap. Ternyata saya emang sendirian. Ternyata dia ngga sepenuhnya paham kondisi saya. Kepercayaan dan beban yang sempat saya gantungkan pada temen saya itu jatoh berantakan. Ternyata saya ngga punya temen selain si kecemasan.

Dari situ saya baru paham jawaban dari pertanyaan ini,

"Ngapain sih lo ke psikolog? Kan lo punya temen. Cerita ke gue aja. Gratis."

Karena temen juga manusia. Ngga punya kewajiban untuk mengingat dia bener-bener pernah paham. Dia juga manusia yang bisa lupa sama masalah orang. Meskipun saya pernah menggantungkan kestabilan emosi ke dia karena harapan yang dia kasih, dia ngga bisa saya tuntut untuk memenuhi harapan itu. Karena dia manusia biasa. Bedanya dengan psikolog, psikolog bertanggungjawab atas harapan itu karena dia saya bayar. Jadi respon psikolog dari hal yang saya konsultasikan jelas beda sama temen yang ngasih harapan. Ya itulah bedanya yang gratis sama yang bayar. Itulah bedanya yang ahli sama sekedar pendengar.

Next post:

Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (4)

Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (4)

Dua orang teman yang menunjukkan dirinya menerima kondisi saya, telah cukup membuat saya melupakan keinginan untuk memutus siklus episode dengan bunuh diri. Karena,


Saya hanya akan membunuh perasaan "berarti" dalam diri teman saya kalau saya menghilangkan nyawa saya. Teman saya pasti merasa hidupnya berarti ketika saya mengungkapkan kebahagiaan bahwa diri saya diterima. Karena itu saya merasa punya tanggungjawab menjaga rasa berarti dalam hidupnya; dengan bertahan hidup untuk tidak mati. Saya juga jadi ingat ada pihak lain yang perlu saya masukkan dalam circle hidup saya; keluarga. Jadi, menghilangkan nyawa untuk memutus episode tidak membunuh luka, hanya akan memindahkan luka ke hati mereka; teman dan keluarga.

Hari ini, saya punya pelajaran baru, bahwa diterima tidak menjamin saya dimengerti oleh mereka. Kalimat "Gw nerima kondisi lo kok" hanyalah sebuah penghiburan yang ada masa berlakunya. Bisa kadaluarsa. Sebagai teman mungkin mereka nerima, tapi tidak berarti untuk mengerti. Menerima hanyalah pengakuan masih mau berteman. Bukan dijamin sebuah sikap yang mengerti kondisi saya. Karena penerimaan itu pada akhirnya akan berbenturan dengan sifat alamiah manusia yang juga punya perasaan; bisa kesal bisa marah bisa nggak suka.

Episode: Diterima tidak menjamin dimengerti
Berawal dari niat baik teman yang ingin mengenalkan saya pada teman laki-lakinya. Singkat cerita kami bertemu bertiga. Kebetulan saya ada obrolan yang bisa dimengerti kita bertiga. Tapi emang, selama ngobrol, mata saya hampir selalu lihatnya ke temen saya, bukan ke temen laki-laki yang dikenalkan ke saya. Kemudian selesai ngobrol kita bertiga sempet diem dan saya main hape.

"Jangan main hape dong, ngobrol" colek teman saya.

Kenapa harus negor saya yang main hape? Bukannya harusnya mikir gimana caranya supaya saya gak main hape yha. Harapan saya adalah dia yang membangun obrolan sebagai penengah, sebagai pihak yang ngenalin. Dulu, waktu saya ngenalin dia ke temen saya, saya yang bangun obrolan untuk bisa dimengerti mereka berdua. Saya merasa wajib melakukan itu karena saya pihak yang ngenalin. Lalu sampe rumah muncul perasaan dalam hati bahwa tegoran itu mengintimidasi saya. Lebay yha. Yagitulah gangguan saya.. :(

Belum release rasa diintimidasi oleh tegoran siang itu. Sorenya dia ngoreksi saya. Yha mungkin niatnya cuma mau nyampein aja,

"Kamu tadi sepanjang ngobrol cuma liat ke mata aku. Padahal obrolannya nyambung juga buat bertiga. Kenapa cuma liat mata aku"

Udah bagus saya punya obrolan yang bisa nyambung buat bertiga. Yang padahal harusnya tugas temen saya. Tapi ketika saya tanya hal itu responnya,

"Kenapa harus aku yang jadi penengah, ngobrol sendiri kan kalian udah dewasa"

HAH?? Saya sempet beku dengernya. Sebuah pernyataan yang dingin sekaligus aneh. Tiga kalimat itulah yang melukai hati saya. Gak tau yha kenapa. Perasaan yang muncul sih rasa diintimidasi. Sampe suatu hari dia sebut nama temen laki-lakinya itu dalam pertanyaan, saya jadi sensitif. Ada luka yang perih. Ada marah yang meradang. Ada rasa tidak nyaman yang menyeruak. Ada rasa tidak terima yang tidak terucap. Full of emotion pokonya.

Saya hanya berniat menunjukkan ketidaknyamanan saya;

"Aku gak suka pertanyaan kamu, kenapa gak (contoh pertanyaan) aku bisa jawab (contoh jawaban), kenapa gak (contoh pertanyaan 2) kalo gitu aku bisa jawab gini"

Saya pingin nunjukkin perasaan saya tapi bingung ngejabarinnya, makanya pake contoh pertanyaan yang menurut saya lebih nyaman buat saya. Tapi respon yang saya dapatkan,

"Kamu gak bisa expect semua sesuai mau/kesukaan kamu. Kalo kamu gasuka sama pertanyaan aku, yaudah itu urusan kamu. Gak mungkin aku ganti pertanyaan cuma supaya bikin kamu seneng."

Betul. Tidak ada yang salah dari kalimat temen saya. Tapi bagi saya yang telah melewatkan peristiwa sulitnya terbuka soal kondisi emosional saya, pergulatan batin berminggu-minggu dengan sakit mental yang luar biasa hingga akhirnya saya terbuka dan respon dia menerima saya, gong kalimat temen saya itu membuyarkan semua peristiwa-peristiwa berarti yang telah mengkristal dengan baik dalam hati saya. Respon itu kayak bukan temen yang pernah menyebut dirinya nerima kondisi saya.

Kalo kamu gasuka sama pertanyaan aku, yaudah itu urusan kamu.

Urusan kamu.

Alias urusan saya.

Ketidaknyamanan yang dulu pernah disepakati bersama untuk bisa saya ungkapkan langsung, sepertinya tidak berlaku (lagi). Atau sudah habis masa kadaluarsanya. Pelajaran baru bagi saya, bahwa menerima hanyalah pengakuan masih mau berteman. Bukan jaminan kondisi saya akan dimengerti. Karena menerima pada akhirnya akan berbenturan pada sifat alamiah manusia yang juga punya perasaan; kesal, marah, tidak suka.



Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (2)

Akhirnya saya mulai sharing soal kondisi saya ke salah satu temen saya. Responnya bagus. Bagi saya ya mengharukan, karena mematahkan spekulasi negatif saya. Setelah penerimaan ini saya jadi punya tong sampah untuk cerita. Dari sini kita jadi punya bonding yang berkualitas. Apalagi ada kalimat gini dari dia,

"Semua orang punya masalah, punya kekhawatiran, gak usah malu sama kondisi lo. Kalo lo marah sama gw, nanti marah aja jangan dipendem. Kesel sama gw mau mukul ya pukul gw aja. Karena gw paham kondisi lo. Gak usah ke psikolog lagi lah, ke gw aja kan gratis gak bayar"

Saya punya obat baru. Ya dia itu. Rasa diterima dari dia itu jadi hal yang luar biasa. Dobel sakit yang sebelumnya saya bilang sedikit berkurang. Beberapa bulan saya jadi lebih semangat ngejalanin hidup. Sampe akhirnya dia malah jadi pemicu kecemasan saya. Saya sakit hati, saya kesel yang penyebabnya sepele banget tapi rasa nggak terimanya luar biasa.



Hmmm kurang lebih begini,


Episode: Objek kecemasan itu temen saya sendiri
Teori dia yang bilang "kalo kesel atau marah bilang aja" gak bisa saya praktekin, karna emang sepele banget pemicunya. Mau bilang apa adanya saya ngga mampu. Ngerasa lebay. Jadinya ketahan sampe ganggu fungsi keseharian saya. Dia jadi orang yang saya hindari karena reaksi cemas saya selalu muncul dan mengganggu kalo ada hubungannya sama dia. Saya jadi benci banget sama dia, kalo ketemu jadi gemeteran, sesek napas kaya orang abis lari maraton berkilo-kilo, ada nyeri di dada (atau hati ya), pacu jantung jadi cepet gitu kayak orang salah obat atau kebanyakan kopi. Gitu deh pokonya saya gak nyaman sama dia. Dia jadi orang asing yang kalo inget rasanya mau marah-marah terus sampe nangis. Begitu sadar pemicunya karna masalah sepele, nangisnya jadi makin-makin karena ngerasa diri saya aneh.

Begitu saya konsultasikan ke konselor, katanya episode itu muncul karena saya tidak meluapkan emosi yang saya rasain. Katanya,

"Kalo dia emang udah nerima kondisi kamu, sampein aja semua yang mengganjal menurut kamu. Dengan menyampaikan emosi itu kamu jadi release. Jadi sebetulnya yang diperlukan oleh orang dengan gangguan kecemasan adalah media untuk release."

Bener. Setelah saya release episode itu habis. Gak ada lagi pacu jantung jadi lebih cepet kalo inget soal dia, gak ada lagi gemeter dan nyeri gak nyaman di dada. Dia temen pertama. Saya mulai sharing soal kondisi saya ke temen lagi. Respon yang mengharukan lagi. Hampir miriplah, intinya kalo ada yang ngeganjel karena sakit hati atau gak nyaman bilang aja.

"Due to your mental illness, aku nerima kok kalo kamu ngomong soal aku yang kamu gak nyaman"

Sebuah kalimat yang mengalirkan kesejukan di hati saya yang sebelumnya kemarau panjang sampe kering kerontang. Episode itu terulang. Sampe akhirnya saya ngerasa kalo siklus hidup saya akan gini-gini aja. Dan menjalani episode itu melelahkan banget. Saya kayak bukan saya. Nangis terus. Sakit hati banget dan lain-lain yang bikin hubungan pertemanan saya rasanya gak membahagiakan. Ya memang kalo saya release episode itu habis. Tapi kemudian bukan plong yang saya rasain. Saya malah takut episode itu terulang lagi dan jadi siklus yang muter terus. Capek. Sampe akhirnya muncul menyudahi siklus itu. Hal yang paling rasional menurut logika saya ya cuma bunuh diri. Rasional banget. Karena capek sama siklusnya, saya butuh kehidupan sosial tapi kalo dijalanin rasanya gak membahagiakan dan saya mikir kasian yang jadi temen saya kalo harus terus-terusan menghadapi orang kaya saya.


Apa yang membuat saya masih hidup satu-satunya adalah karena saya tau Tuhan saya tidak suka saya mati dengan cara itu. Alasan lainnya barangkali karena saya nggak tau harus bunuh diri pakai cara apa. Dan kayaknya karena dua alasan itu keinginan memutus siklus episode itu selalu tertunda.


Next post:
Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (3)