Cemas adalah sistem alarm alami tubuh saat kita merasa
terancam, di bawah tekanan, atau menghadapi situasi yang membuat stress dan
tidak nyaman. Kecemasan bukan suatu hal yang buruk. Rasa cemas yang normal bisa membantu kita untuk tetap fokus dan waspada pada hal tertentu juga memotivasi kita untuk memecahkan masalah. Tapi kecemasan yang tidak normal akan membuat keadaan emosional seseorang menjadi tidak stabil. Kecemasan yang berlebihan akan mengganggu seseorang untuk menyelesaikan tugasnya dan bahkan membuat orang kehilangan kebahagiaan dalam hidupnya karena stress.
Gangguan kecemasan atau anxiety disorder adalah salah satu bentuk stres yang dialami baik secara fisik, emosional maupun sudut pandang mereka terhadap lingkungan sekitar. Orang dengan gangguan ini tidak mampu menghadapi situasi yang membuat stres dan tidak nyaman. Orang dengan gangguan ini umumnya tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi.
Saya, orang dengan gangguan itu.
Tiga tahun lalu saya sering banget ada keluhan sakit di beberapa bagian tubuh saya. Selama setahun saya sering ke rumah sakit untuk konsultasi dengan keluhan yang berbeda, dengan dokter spesialis yang berbeda pula. Nggak ada kesimpulan pasti saya sakit apa. Semuanya cuma ngecek, ngasih obat, keluhan hilang, tapi ya muncul lagi sakit di bagian tubuh lain. Ra uwis uwis.
Sampe akhirnya satu dokter spesialis syaraf pesan gini,
"Kamu cuma perlu perbaiki gaya hidup aja sih, olahraga."
Waktu itu keluhan saya ada di syaraf punggung. Gak bisa digerakin. Kaku. Muter badan ke kanan kiri gak bisa. Rasanya kayak jadi pohon, gak bisa gerak. Tiga hari dari dokter syaraf itu punggung saya kembali normal. Lalu saya rajin ikut yoga. Sebulan ikut yoga saya beneran ngerasa lebih bugar, segar dan tegar. Halah maksa. Ya pokoknya ngga ada keluhan badan sakit.
Nah tapi, sakit kepala yang hampir setiap minggu mampir ngga ikutan pergi kayak kejang syaraf punggung saya itu. Sampe suatu hari saya nggak kuat sama vertigo, karena intensitasnya mulai sering. Rasanya kayak mau mati. Pemandangan yang saya liat kayak mau niban saya. Kan serem. Belum lagi mual hebat yang dateng setelah pemandangan muter itu.
Ketemu lagi lah sama om dokter itu. Di sinilah dia bilang kalau keluhan sakit kepala saya itu dan mungkin keluhan-keluhan medis saya yang lain sebelumnya sebetulnya bukan penyakit, tapi respon dari tekanan pikiran alias stres. Waktu itu saya jawab,
"Tapi saya nggak ngerasa stress dok, biasa aja"
"Kadang pikiran sehat kita memang merasa begitu, tapi alam bawah sadar kita yang merasakan"
"Kalo dipikir-pikir pun kayaknya gak ada hal yang bikin stres"
"Nah, coba kamu sekali waktu konsultasi ke psikolog/psikiater, nanti beliau yang bisa membantu memetakan pikiran kamu. Ada nggak nih hal-hal yang micu stres"
Selang beberapa bulan, untuk pertama kalinya saya merujuk diri saya ke psikolog. Berangkat dari sebuah peristiwa yang menyadarkan saya kalo saya punya habit me-recall bad memories ketika saya sedih. Awalnya saya underestimate profesi psikolog/psikiater karena saya punya temen untuk diajak cerita, saya juga punya Tuhan. Saya selalu menolak ketika ada yang menyarankan konsul ke ahli kejiwaan. Sampai suatu hari Ibunya temen saya bilang,
"Memang bener kalo kita punya masalah larinya ke Tuhan, tapi psikolog/psikiater bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan yang bantu kita. Saya gak saranin kamu untuk curhat ke temen, karena manusia itu bisa ember. Bisa loh mereka ceritain yang kamu ceritain itu ke orang lain. Dan satu lagi, temen yang jadi temen cerita kamu itu pasti kan seumur sama kamu, jadi pengalaman hidup dia juga gak banyak"
"Nah makanya aku cerita ke tante"
"Tapi aku gak punya ilmunya. Boleh kamu cerita ke aku tapi kemampuanku terbatas, cuma sebatas ngasih saran, membesarkan hati, ngasi pandangan lain dari orang yang lebih dewasa. Aku merujuk kamu ke psikolog karena mereka punya ilmu yang bisa bantu kamu mengatasi bad habit atau masalah emosional pake dasar ilmu mereka. Aku gak saranin kamu ke psikiater karna mereka akan ngasih obat, jadi ke psikolog dulu aja. Psikolog akan bantu lebih ke self healing dulu"
Jadi kesimpulan dari konselor saya, keluhan-keluhan medis saya itu bisa dibilang karena tekanan stres. Dalam ilmu psikologi namanya psikosomatis. Gangguan cemas yang bisa memunculkan reaksi fisik. Mirip kayak orang umum yang grogi harus bicara depan umum trus sakit perut. Itu salah satu contoh sederhana psikosomatis. Kalau pada kasus saya udah agak berat. Karena selain mengganggu secara emosional, juga mengganggu kesehatan fisik.
Beberapa bulan pertama, saya semakin drop setelah beberapa kali konsul. Katanya, itu memang efek sampingnya karena kita didekatkan dengan luka-luka yang kita tutupi, luka yang kita paksa pikiran untuk mengabaikan tapi padahal perasaan kita belum bisa menerima luka itu. Setelah sentuhan cinta dari Tuhan yang membuat saya ingin berkerudung dulu adalah titik balik pertama, peristiwa ini adalah titik balik yang kedua dalam hidup saya.
Setelah konsul itu rasanya makin sakit, sakit secara mental, pertama karena didekatkan dengan luka, kedua karena saya jadi tau bahwa saya punya gangguan. Dobel sakitnya. Kecemasannya makin bertambah karena saya khawatir teman saya nggak paham kondisi saya itu, dan saya jadi sadar bahwa gangguan itu di kemudian hari akan jadi kesulitan buat saya menghadapi orang lain.
Dobel sakit tadi itu bikin saya jadi makin sensitif. Karena ketika dilukai orang lain saya jadi sadar saya terluka. Sebelumnya, sakit hati, perasaan bersalah, takut gagal, takut salah dan lain-lain yang memicu cemas gak sadar saya rasain. Semua itu dulu cuma dipaksa oleh pikiran saya untuk abai, tapi numpuk di alam bawah sadar sampe akhirnya ngebentuk pola dan sistem emosi yang salah; recall bad memories ketika sedih marah tidak puas atau terintimidasi.
Perlu sepanjang tahun bergelut dengan penerimaan bahwa saya orang dengan kondisi emosional seperti itu. Penolakan logika terhadap jiwa juga makin bikin diri saya drop. Gimana temen saya bisa nerima kalo bahkan logika saya aja menolak jiwa saya sendiri. Ada perasaan takut dikira lebay, terlalu baper nanggepin sikap dan kalimat orang.. Banyak spekulasi negatif yang muncul di pikiran saya ketika saya ingin coba sharing soal kondisi saya. Kemudian konselor saya meyakinkan saya,
"Teman yang baik akan nerima kamu. Kalo setelah dia tau kemudian muncul perilaku tidak menerima, justru lewat kondisi ini kamu jadi tau mana yang beneran temen kamu"
Padahal saya nggak ingin diterima, saya cuma ingin dimengerti. Percuma nerima kalo nggak ngerti.
Next post:
Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (2)
Next post:
Mengerti dan menerima adalah dua kata kerja yang berbeda (2)